BAB I
PENDAHULUAN
ILUSI
Ilusi berasal dari bahasa latin yaitu illusio yang berarti cemooh, illudere yang berarti mencemoohkan, menggaburkan, dan menyesatkan.
Ilusi juga bias berarti tidak dapat dipercaya atau palsu. Ilusi juga dapat berarti sesuatu yang hanya dalam angan-angan atau dengan kata lain adalah khayalan.
Ilusi adalah suatu persepsi panca indera yang disebabkan adanya rangsangan panca indera yang ditafsirkan secara salah. Dengan kata lain, ilusi adalah interpretasi yang salah dari suatu rangsangan pada panca indera. Sebagai contoh, seorang penderita dengan perasaan yang bersalah, dapat meng-interpretasikan suara gemerisik daun-daun sebagai suara yang mendekatinya. Ilusi sering terjadi pada saat terjadinya ketakutan yang luar biasa pada penderita atau karena intoksikasi, baik yang disebabkan oleh racun, infeksi, maupun pemakaian narkotika dan zat adiktif.
Ilusi ini dapat disebabkan dengan bermacam-macam bentuk, yaitu ilusi visual (penglihatan), akustik (pendengaran), olfaktorik (pembauan), gustatorik (pengecapan), dan ilusi taktil (perabaan).
Bagian-bagian dari ilusi adalah halusinasi, khayalan, fantasi, delusi dan asosiasi.
Macam-macam ilusi
• Ilusi optis adalah ilusi yang terjadi karena kesalahan penangkapan mata manusia. Ada anggapan konvensional bahwa ada ilusi yang bersifat fisiologis dan ada ilusi yang bersifat kognitif.
• Ilusi fisiologis Ilusi fisiologis, seperti yang terjadi pada afterimages atau kesan gambar yang terjadi setelah melihat cahaya yang sangat terang atau melihat pola gambar tertentu dalam waktu lama. Ini diduga merupakan efek yang terjadi pada mata atau otak setelah mendapat rangsangan tertentu secara berlebihan.
• Ilusi kognitif Ilusi kognitif diasumsikan terjadi karena anggapan pikiran terhadap sesuatu di luar. Pada umumnya ilusi kognitif dibagi menjadi ilusi ambigu, ilusi distorsi, ilusi paradoks dan ilusi fiksional.
• Pada ilusi ambigu, gambar atau objek bisa ditafsirkan secara berlainan. Contohnya adalah: kubus Necker dan vas Rubin.
• Pada ilusi distorsi, terdapat distorsi ukuran, panjang atau sifat kurva (lurus lengkung). Contohnya adalah: ilusi dinding kafe dan ilusi Mueller -Lyer.
• Ilusi paradoks disebabkan karena objek yang paradoksikal atau tidak mungkin, misalnya pada segitiga Penrose atau 'tangga yang mustahil', seperti misalnya terlihat pada karya seni grafis M C Escher, berjudul "Naik dan Turun" serta "Air Terjun".
• Ilusi fiksional didefinisikan sebagai persepsi terhadap objek yang sama sekali berbeda bagi seseorang tapi bukan bagi orang lain, seperti disebabkan karena schizoprenia atau halusinogen. Ini lebih tepatnya disebut dengan halusinasi
BAB II
AGAMA DAN ILUSI
Manusia adalah suatu mahluk somato-psiko-sosial dan karena itu maka suatu pendekatan terhadap manusia harus menyangkut semua unsur somatiK, psikologik, dan social.
Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Ada berbagai penertian yang menyebutkan devinisi tentang psikologi.
Psikologi menurut Plato dan Aristoteles adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.
Menurut Wilhem Wundt (tokoh eksperimental) bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia , seperti penggunaan pancaindera, pikiran, perasaan, feeling dan kehendaknya.
Kalau kita membicarakan tengtang psikologi agama, kita tidak lepas dari Sigmund Freud, yang menganut teori relativisme, yang juga sependapat dengan Kall Marx.
Keduanya mengkritisi agama itu karena manusia terdorong oleh perasaan-perasaan kegagalan dalam dunia ini, sehingga dia mencari tokoh “lain” (dewa) yang mamapu menolongnya.
Dalam bukunya yang berjudul The Future of an Illusion, Freud menyatakan bahwa manusia itu muncul dan berevolusi di alam yang tidak selalu bersahabat dengannya. Untuk dapat berlindung, maka manusia harus bergabung dengan kelompok masyarakat, sehingga terciptalah suatu peradaban. Meskipun demikian, manusia tetap tidak dapat berlindung dari kematian yang pasti akan datang.
Menurut Freud, hidup manusia mengandung misteri dan penderitaan. Seseorang merasakan penderitaan yang bersumber daris ekelilingnya, misalnya, keluarga, teman, bencana alam dan sebagainya, serta misteri yang ada menakutnya yaitu kematian. Dalam keadaan kesusahan itu manusia ingin mencari solusinya, karena itu dia ingin mencari suatu ketenangan agar terbebas dari penderitaan atau malapetaka.
Menurut Freud, kepercayaan keagamaan yang objektif itu tidak ada dasarnya sebab kepercayaan tersebut dapat diterangkan dari segi psikologi. Hal-hal yang merupakan dogma dalam agama bukan hasil pengalaman atau hasil pemikiran, tetapi hasil dari ilusi. Ilusi yang dimaksud freud adalah kepercayaan yang didasarkan atas keinginan. Freud menyatakan bahwa pemuasan keinginan dinamai juga “berpikir proses primer”, sedangkan “berpikir proses sekunder” adalah cara ego menghadapi lingkungan dengan berorientasi pada realitas. Bermimpi minum air adalah contoh berpikir proses primer atau menginginkan, sedangkan mengambil segelas air adalah contoh berpikir sekunder.
Semua doktrin agama adalah ilusi yang tidak dapat dibuktikan dan diselidiki secara ilmiah. Ilusi menurutnya ada karena keinginan. Memuaskan keinginan merupakan kegiatan yang membayangkan objek yang mengurangi ketegangan. Ilusi berasal dari imajinasi, dan imajinasi menghasilkan rasa lega luar biasa dari ketegangan, pemuasan kebutuhan mendesak yang tidak dapat dibenarkan dan disalahkan.
Freud mengibaratkan seperti manusia sebenarnya merasa aman dikandungan ibu, setelah lahir mulai merasakan kenyamanan tadi hilang serhingga mulai terasing dan terpisah dari dunia nyaman. Dari sinilah muncul konflik dalam dirinya yaitu keinginan untuk hidup nyaman dan ketidak berdayaan untuk kembali pada dunia yang nyaman tersebut, sehingga menimbulkan kebingungan.
Kebingungan itu yang membuat manusia mencari tempat yang aman yaitu agama. Karena agamalah yang didapat oleh orang putus asa dan lari dari kenyataan untuk mencari perlindungan serta kenyamanan seperti didalam kandungan tersebut.
Kepercayaan kita kepada Tuhan dapat memberikan ketenangan dalam mengahadapi kematian yang selalu ditakuti oleh setiap manusia. Dalam kepercayaan tersebut, kematian bukan lagi menjadi suatu hal yang sangat menakutkan karena adanya keyakinan yang menyatakan bahwa roh kita akan terlepas dari tubuh dan akan bersatu dengan Tuhan. Oleh sebab itulah muncul keyakinan untuk mentaati segala peraturan yang diberikan oleh Tuhan melalui agama.
Fungsi lain dari agama yang dipikirkan oleh freud adalah ajaran moral yang dapat juga dihubungkan dengan masa kanak-kanak. Bapak yang selalu menjaga anaknya dari bahaya serta mengajarkan apa yang boleh serta tidak boleh diperbuat. Dia dibatasi dengan berbagai aturan-aturan baik dalam keluarga maupun masyarakat. Perbuatan baik mendapat ganjaran dan buruk mendapat hukuman, dengan kata lain perbuatan baik mendapat pahala serta surge dan perbuatan buruk mendapat dosa yang mengakibatkan mesuk dalan jurang penghukuman atau neraka. Kebahagiaan dalam beragama tergantung pada sempurnanya aturan-aturan yang ditaati sehingga selalu dicintai Tuhan, dalam kecintaan demikian, dia merasa aman dan tenang, sebagaimana waktu dia masih kanak-kanak.
Freud berkata, ajaran-ajaran agama kepada penganutnya untuk tidak membunuh antara sama lain merupakan jasa besar bagi peradaban. Tetapi, agama belum cukup melakukannya. Setelah menguasai manusia selama ribuan tahun dan mampu membuktikan dirinya, agama belum mampu memberikan kebahagiaan dan mengadabkan mereka. Freud menemukan bukti untuk pandangan ini pada sebagian besar manusia yang kecewa dengan peradaban. Dan Freud tidak memiliki alasan untuk membuktikan bahwa orang akan bahagia apabila hidupnya diatur oleh agama. Dalam pandangan sejarah, agama lebih mendukung tindakan-tindakan yang tidak bermoral daripada yang bermoral. Dengan demikian, agama menurutnya telah gagal.
Hamper sama dengan Freud, Fredrick Schleimacher berpendapat bahwa yang menjadi sumber keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah, kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya, berdasarkan rasa ketergantungan ini timbullah konsep tentang Tuhan.
Kalau kita membicarakan agama, agama besrpun tidak luput dari pembicaraan tentabg kematian. Baik itu agama yang berupa agama wahyu dan non wahyu, sama-sama memiliki pandangan tentang kematian dan keadaan sesudah mati.
Agama budha, menekankan kepada nirwana, yaitu keadaan tidak ada, jiwa manusia terpenjara dalam tubuh dan membebaskan manusia dari keterikatan tersebut, dia harus mensucikan dirinya dari rayuan nafsu dunia agar dapat kembali kedalam spirituan yang tidak bertepi.
Dalam agama hindu, kelahiran kembali (raingkarnasi) merupakan ajaran pokok karena kelahiran inilah yang menjadi ukuran bagi perbuatan seseorang didunia.
Dalam agama yahudi, Kristen dan islam memandang kehidupan setelah mati adalah keyakinan yang pokok setelan iman kepada tuhan. Kehidupan setelah mati adalah kehidupan yang hakiki, karena kehidupan diakherat adalah lebihn mulia dari pada kehidupan dunia.
Bantahan.
Dari penjelasan freud diatas ada beberapahan yang perlu kita koreksi, misalnya:
Pertama, freud menganalogikan tuhan sebagai pencipta alam dengan bapak serta ibu sebagai pencipta “anak”. Bapak didunia jelas tidak bias disamakan dengan Tuhan sebagai pencipta, dilihat dari struktur zat saja sudah jauh berbeda. Bapak didunia terdiri dari zat-zat atas sel-sel, bentuk dan materi, sedangkan bapak pencipta alam tidak terdiri dari materi dan bentuk.
Kedua, wawasan freud tentang tuhan hanya kepada agama Kristen, sebab ada tuhan yang fungsinya yang tidak sebagaimana digambarkan oleh freud, sebagai pencipta, pelindung, berkuasa, dan sebagainya.
Ketiga suatu kesalahan jika menurut freud mengira tuhan itu zat yang diinginkan manusia. Kalau itu benar, bagaimana halnya dengan penganut theism relamengorbankan hiduopnya –kalau dalam islam mati syahid- demi keridhoan Tuhan. Dan kalangan sufi tidak melihat Tuhan sebagai tempat berlindung dan membalas perbuatanya, tetapi Tuhan tempat bersatu dan berdekat-dekatan, surge dan neraka tidaklah penting, tapi yang diharapkan adalah kerelaan Tuhan dan kesadaran yang menyatu denga-Nya.
BAB III
KESIMPULAN
Menurut freud, agama itu bahwa Tuhan sebagai tempat manusia menyampaikan doa-doa tersebut tidak lebih dari sekedar khayalan yang dibuat oleh manusia sendiri karena ingin menghilangkan rasa takut akan kesengsaraan didunia dan misteri yang terdapat pada manusia yaitu kematian. Beranggapan kalau semuaitu hanya gangguan pada kejiwaan seseorang yang mendambakan kenyamanan hidup seperti didalam kandungan seorang ibu, atau kenyamanan hidup pada saat masik kanak-kanak, yang merasa nyaman karena dalam lindungan orang tua.
Datri semuanya ini pencari kebenaran yang sesungguhnya, baik itu dari empiris atau pengalaman, rasionalisme atau akal, serta iluminasionisme atau penggabungan dari pengalaman serta akan, bersumber dari manusia yang relative. Relative itu tidak saja dari pemikiran tetapi juga perangkat yang dimiliki manusia dalam memperoleh kebenaran, panca indera, akal dan hati. Karena itu tidak mustahil ada zat yang lebih memiliki pengetahuan yang hakiki daripada manusia dan Dia merupakan Hakiki dan sekaligus sumber pengetahuan.
Daftar Pustaka
• Freud, sigmound, psikologikoanalisis Sigmund freud, terira puspitorini, Yogyakarta, 2002.
• Rahmat, jalaludin, psikologi agamasebuah pengantar, bandung, mizan, 2003.
• Bakhtiar, amsal, filsafat agama, PT Logos wacana Iilmu, Jakarta, 1997.
• www.google.com
• www.wikipwdia.com
Agama dan Ilusi
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Ilmu Perbandingan Agama
Dosen : Muhammad Fahmi, M. Ag.
Pemakalah:
Akbar Budhi H 26.08.1.1.001
Andi Riyanto 26.08.1.1.002
JURUSAN DAKWAH DAN KOMUNUIKASI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SURAKARTA
2011
Ilusi adalah suatu persepsi panca indera yang disebabkan adanya rangsangan panca indera yang ditafsirkan secara salah. Dengan kata lain, ilusi adalah interpretasi yang salah dari suatu rangsangan pada panca indera. Sebagai contoh, seorang penderita dengan perasaan yang bersalah, dapat meng-interpretasikan suara gemerisik daun-daun sebagai suara yang mendekatinya. Ilusi sering terjadi pada saat terjadinya ketakutan yang luar biasa pada penderita atau karena intoksikasi, baik yang disebabkan oleh racun, infeksi, maupun pemakaian narkotika dan zat adiktif.
Ilusi ini dapat disebabkan dengan bermacam-macam bentuk, yaitu ilusi visual (penglihatan), akustik (pendengaran), olfaktorik (pembauan), gustatorik (pengecapan), dan ilusi taktil (perabaan).
Bagian-bagian dari ilusi adalah halusinasi, khayalan, fantasi, delusi dan asosiasi.
Macam-macam ilusi
• Ilusi optis adalah ilusi yang terjadi karena kesalahan penangkapan mata manusia. Ada anggapan konvensional bahwa ada ilusi yang bersifat fisiologis dan ada ilusi yang bersifat kognitif.
• Ilusi fisiologis Ilusi fisiologis, seperti yang terjadi pada afterimages atau kesan gambar yang terjadi setelah melihat cahaya yang sangat terang atau melihat pola gambar tertentu dalam waktu lama. Ini diduga merupakan efek yang terjadi pada mata atau otak setelah mendapat rangsangan tertentu secara berlebihan.
• Ilusi kognitif Ilusi kognitif diasumsikan terjadi karena anggapan pikiran terhadap sesuatu di luar. Pada umumnya ilusi kognitif dibagi menjadi ilusi ambigu, ilusi distorsi, ilusi paradoks dan ilusi fiksional.
• Pada ilusi ambigu, gambar atau objek bisa ditafsirkan secara berlainan. Contohnya adalah: kubus Necker dan vas Rubin.
• Pada ilusi distorsi, terdapat distorsi ukuran, panjang atau sifat kurva (lurus lengkung). Contohnya adalah: ilusi dinding kafe dan ilusi Mueller -Lyer.
• Ilusi paradoks disebabkan karena objek yang paradoksikal atau tidak mungkin, misalnya pada segitiga Penrose atau 'tangga yang mustahil', seperti misalnya terlihat pada karya seni grafis M C Escher, berjudul "Naik dan Turun" serta "Air Terjun".
• Ilusi fiksional didefinisikan sebagai persepsi terhadap objek yang sama sekali berbeda bagi seseorang tapi bukan bagi orang lain, seperti disebabkan karena schizoprenia atau halusinogen. Ini lebih tepatnya disebut dengan halusinasi
BAB II
AGAMA DAN ILUSI
Manusia adalah suatu mahluk somato-psiko-sosial dan karena itu maka suatu pendekatan terhadap manusia harus menyangkut semua unsur somatiK, psikologik, dan social.
Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Ada berbagai penertian yang menyebutkan devinisi tentang psikologi.
Psikologi menurut Plato dan Aristoteles adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.
Menurut Wilhem Wundt (tokoh eksperimental) bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia , seperti penggunaan pancaindera, pikiran, perasaan, feeling dan kehendaknya.
Kalau kita membicarakan tengtang psikologi agama, kita tidak lepas dari Sigmund Freud, yang menganut teori relativisme, yang juga sependapat dengan Kall Marx.
Keduanya mengkritisi agama itu karena manusia terdorong oleh perasaan-perasaan kegagalan dalam dunia ini, sehingga dia mencari tokoh “lain” (dewa) yang mamapu menolongnya.
Dalam bukunya yang berjudul The Future of an Illusion, Freud menyatakan bahwa manusia itu muncul dan berevolusi di alam yang tidak selalu bersahabat dengannya. Untuk dapat berlindung, maka manusia harus bergabung dengan kelompok masyarakat, sehingga terciptalah suatu peradaban. Meskipun demikian, manusia tetap tidak dapat berlindung dari kematian yang pasti akan datang.
Menurut Freud, hidup manusia mengandung misteri dan penderitaan. Seseorang merasakan penderitaan yang bersumber daris ekelilingnya, misalnya, keluarga, teman, bencana alam dan sebagainya, serta misteri yang ada menakutnya yaitu kematian. Dalam keadaan kesusahan itu manusia ingin mencari solusinya, karena itu dia ingin mencari suatu ketenangan agar terbebas dari penderitaan atau malapetaka.
Menurut Freud, kepercayaan keagamaan yang objektif itu tidak ada dasarnya sebab kepercayaan tersebut dapat diterangkan dari segi psikologi. Hal-hal yang merupakan dogma dalam agama bukan hasil pengalaman atau hasil pemikiran, tetapi hasil dari ilusi. Ilusi yang dimaksud freud adalah kepercayaan yang didasarkan atas keinginan. Freud menyatakan bahwa pemuasan keinginan dinamai juga “berpikir proses primer”, sedangkan “berpikir proses sekunder” adalah cara ego menghadapi lingkungan dengan berorientasi pada realitas. Bermimpi minum air adalah contoh berpikir proses primer atau menginginkan, sedangkan mengambil segelas air adalah contoh berpikir sekunder.
Semua doktrin agama adalah ilusi yang tidak dapat dibuktikan dan diselidiki secara ilmiah. Ilusi menurutnya ada karena keinginan. Memuaskan keinginan merupakan kegiatan yang membayangkan objek yang mengurangi ketegangan. Ilusi berasal dari imajinasi, dan imajinasi menghasilkan rasa lega luar biasa dari ketegangan, pemuasan kebutuhan mendesak yang tidak dapat dibenarkan dan disalahkan.
Freud mengibaratkan seperti manusia sebenarnya merasa aman dikandungan ibu, setelah lahir mulai merasakan kenyamanan tadi hilang serhingga mulai terasing dan terpisah dari dunia nyaman. Dari sinilah muncul konflik dalam dirinya yaitu keinginan untuk hidup nyaman dan ketidak berdayaan untuk kembali pada dunia yang nyaman tersebut, sehingga menimbulkan kebingungan.
Kebingungan itu yang membuat manusia mencari tempat yang aman yaitu agama. Karena agamalah yang didapat oleh orang putus asa dan lari dari kenyataan untuk mencari perlindungan serta kenyamanan seperti didalam kandungan tersebut.
Kepercayaan kita kepada Tuhan dapat memberikan ketenangan dalam mengahadapi kematian yang selalu ditakuti oleh setiap manusia. Dalam kepercayaan tersebut, kematian bukan lagi menjadi suatu hal yang sangat menakutkan karena adanya keyakinan yang menyatakan bahwa roh kita akan terlepas dari tubuh dan akan bersatu dengan Tuhan. Oleh sebab itulah muncul keyakinan untuk mentaati segala peraturan yang diberikan oleh Tuhan melalui agama.
Fungsi lain dari agama yang dipikirkan oleh freud adalah ajaran moral yang dapat juga dihubungkan dengan masa kanak-kanak. Bapak yang selalu menjaga anaknya dari bahaya serta mengajarkan apa yang boleh serta tidak boleh diperbuat. Dia dibatasi dengan berbagai aturan-aturan baik dalam keluarga maupun masyarakat. Perbuatan baik mendapat ganjaran dan buruk mendapat hukuman, dengan kata lain perbuatan baik mendapat pahala serta surge dan perbuatan buruk mendapat dosa yang mengakibatkan mesuk dalan jurang penghukuman atau neraka. Kebahagiaan dalam beragama tergantung pada sempurnanya aturan-aturan yang ditaati sehingga selalu dicintai Tuhan, dalam kecintaan demikian, dia merasa aman dan tenang, sebagaimana waktu dia masih kanak-kanak.
Freud berkata, ajaran-ajaran agama kepada penganutnya untuk tidak membunuh antara sama lain merupakan jasa besar bagi peradaban. Tetapi, agama belum cukup melakukannya. Setelah menguasai manusia selama ribuan tahun dan mampu membuktikan dirinya, agama belum mampu memberikan kebahagiaan dan mengadabkan mereka. Freud menemukan bukti untuk pandangan ini pada sebagian besar manusia yang kecewa dengan peradaban. Dan Freud tidak memiliki alasan untuk membuktikan bahwa orang akan bahagia apabila hidupnya diatur oleh agama. Dalam pandangan sejarah, agama lebih mendukung tindakan-tindakan yang tidak bermoral daripada yang bermoral. Dengan demikian, agama menurutnya telah gagal.
Hamper sama dengan Freud, Fredrick Schleimacher berpendapat bahwa yang menjadi sumber keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah, kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya, berdasarkan rasa ketergantungan ini timbullah konsep tentang Tuhan.
Kalau kita membicarakan agama, agama besrpun tidak luput dari pembicaraan tentabg kematian. Baik itu agama yang berupa agama wahyu dan non wahyu, sama-sama memiliki pandangan tentang kematian dan keadaan sesudah mati.
Agama budha, menekankan kepada nirwana, yaitu keadaan tidak ada, jiwa manusia terpenjara dalam tubuh dan membebaskan manusia dari keterikatan tersebut, dia harus mensucikan dirinya dari rayuan nafsu dunia agar dapat kembali kedalam spirituan yang tidak bertepi.
Dalam agama hindu, kelahiran kembali (raingkarnasi) merupakan ajaran pokok karena kelahiran inilah yang menjadi ukuran bagi perbuatan seseorang didunia.
Dalam agama yahudi, Kristen dan islam memandang kehidupan setelah mati adalah keyakinan yang pokok setelan iman kepada tuhan. Kehidupan setelah mati adalah kehidupan yang hakiki, karena kehidupan diakherat adalah lebihn mulia dari pada kehidupan dunia.
Bantahan.
Dari penjelasan freud diatas ada beberapahan yang perlu kita koreksi, misalnya:
Pertama, freud menganalogikan tuhan sebagai pencipta alam dengan bapak serta ibu sebagai pencipta “anak”. Bapak didunia jelas tidak bias disamakan dengan Tuhan sebagai pencipta, dilihat dari struktur zat saja sudah jauh berbeda. Bapak didunia terdiri dari zat-zat atas sel-sel, bentuk dan materi, sedangkan bapak pencipta alam tidak terdiri dari materi dan bentuk.
Kedua, wawasan freud tentang tuhan hanya kepada agama Kristen, sebab ada tuhan yang fungsinya yang tidak sebagaimana digambarkan oleh freud, sebagai pencipta, pelindung, berkuasa, dan sebagainya.
Ketiga suatu kesalahan jika menurut freud mengira tuhan itu zat yang diinginkan manusia. Kalau itu benar, bagaimana halnya dengan penganut theism relamengorbankan hiduopnya –kalau dalam islam mati syahid- demi keridhoan Tuhan. Dan kalangan sufi tidak melihat Tuhan sebagai tempat berlindung dan membalas perbuatanya, tetapi Tuhan tempat bersatu dan berdekat-dekatan, surge dan neraka tidaklah penting, tapi yang diharapkan adalah kerelaan Tuhan dan kesadaran yang menyatu denga-Nya.
BAB III
KESIMPULAN
Menurut freud, agama itu bahwa Tuhan sebagai tempat manusia menyampaikan doa-doa tersebut tidak lebih dari sekedar khayalan yang dibuat oleh manusia sendiri karena ingin menghilangkan rasa takut akan kesengsaraan didunia dan misteri yang terdapat pada manusia yaitu kematian. Beranggapan kalau semuaitu hanya gangguan pada kejiwaan seseorang yang mendambakan kenyamanan hidup seperti didalam kandungan seorang ibu, atau kenyamanan hidup pada saat masik kanak-kanak, yang merasa nyaman karena dalam lindungan orang tua.
Datri semuanya ini pencari kebenaran yang sesungguhnya, baik itu dari empiris atau pengalaman, rasionalisme atau akal, serta iluminasionisme atau penggabungan dari pengalaman serta akan, bersumber dari manusia yang relative. Relative itu tidak saja dari pemikiran tetapi juga perangkat yang dimiliki manusia dalam memperoleh kebenaran, panca indera, akal dan hati. Karena itu tidak mustahil ada zat yang lebih memiliki pengetahuan yang hakiki daripada manusia dan Dia merupakan Hakiki dan sekaligus sumber pengetahuan.
Daftar Pustaka
• Freud, sigmound, psikologikoanalisis Sigmund freud, terira puspitorini, Yogyakarta, 2002.
• Rahmat, jalaludin, psikologi agamasebuah pengantar, bandung, mizan, 2003.
• Bakhtiar, amsal, filsafat agama, PT Logos wacana Iilmu, Jakarta, 1997.
• www.google.com
• www.wikipwdia.com
Agama dan Ilusi
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Ilmu Perbandingan Agama
Dosen : Muhammad Fahmi, M. Ag.
Pemakalah:
Akbar Budhi H 26.08.1.1.001
Andi Riyanto 26.08.1.1.002
JURUSAN DAKWAH DAN KOMUNUIKASI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SURAKARTA
2011