Selamat Datang Diblog Andi Riyanto * jadikan hidupmu bermanfaat bagi orang yang kamu sayangi * ingatlah kelemahanmu itu adalah kelebihanmu * masalah itu timbul dari pikiran kita *

Jumat, 18 Juli 2014

Ramadhan: Antara Politik dan Ibadah

Tahun ini memang negara ini sedang mengalami Tiga pesta besar, yakni Perta Sepak Bola sejagad yang dilaksanakan di Brazil, yang kedua Pesta Demokrasi yang menjadi akan menentukan pemimpin bangsa lima tahun kedepan serta Pesta Pahala yang tertuang bulan penuh berkah yakni bulan suci Ramadhan.
Puasa tahun ini akan semakin berat dilaksanakan kaum muslimin, disebabkan kebanyakan masyarakat telah terserang virus black campaign sehingga saling serang seperti hal yang biasa, apalagi sudah mendekati “lebaran” demokrasi 9 april mendatang.
Sudah banyak juga yang sudah mengutarakan pendapatnya dibalik kampanye yang berkedok agama. Seperti yang dituliskan Cheline Indra Shusmita di Mimbar mahasiswa solopos tanggal
Hal ini seakan menjadi tantangan umat islam untuk tetap fokus dalam menentukan pemimpin, apalagi dalam demam demokrasi ini kedua belah pihak di dukung partai yang berbasis Islam. Banyak pemuka agama yang menjadi juru kampanye, Sehingga akan semakin banyak lagi “bumbu penyedap” yang berasakan agama dalam memasukkan pesan pemenangan.
Untuk menanggapi ancaman semacam ini, muslimin Indonesia dituntut untuk menunjukkan kepribadiannya sebagai masyarat Islam yang cinta damai. Dr, Muhammad Ali Hasyimi dalam bukunya Apakah Anda Berkepribadian Muslim? Menerangkan bahwa seorang muslim harus memiliki sifat kedamaian bagi sesama, dan sbagai pemberi manfaat bagi sesama.
Menjadikan pilitik yang santun sebagi ibadah didalam bulan penuh berkah menjadi tujuan berpolitik ala seorang muslim, karena memilih pemimpin yang bertanggung jawab serta menjalankan ibadah puasa menjadi kewajiban. Untuk meningkatkan keimanan menjadi suatu ketaqwaan kepada Tuhan yang maha kuasa.

Buka Puasa Politik
Strategi para elit politik untuk meraih pemenangan tidak lepas dari waktu menjalankan strategi. Seperti bulan Ramadhan juga harus memiliki strategi mendekati masyarakat bawah. Yang lebih sering dilakukan yakni berbuka puasa dengan para calon president yang sedang berperang.
Seperti yang diberitakan oleh beritakotamakassar.com (20/06) tim relawan kalla di makassar telah menyusun rencana bersilaturahmi di 24kab/kota di sulsel serta membuat acara buka bersama akbar. Rencana tersebut disampaikan juru bicara relawan kalla Subhan mappaturung.
Selain itu dari kubu Prabowo sudah lebih dahulu membuat gebrakan buka bersama sejak tahun lalu, yakni seperti diberitakan detik.com 16/07/2013. Prabowo mengadakan buka puasa bersama nelayan muara angke. Bahkan prabowo sempat ditanya mengenai program jikalau memenangkan pemilu tahun 2014.
Pendapat saya, bulan ramadhan ini akan menjadi lahan buka bersama para calon presiden dengan alih-alih silaturahmi serta mendekatkan diri pada masyarakat luas. Hal ini sah-sah saja karena maksud dari buka puasa juga untuk merekatkan serta memperbanyak amal di bulan penuh barokah ini.
Tetapi jikalau hal tersebut bukan semata-mata untuk ibadah saja, maka akan menjadi amal yang sia-sia. Dikarenakan amal perbuatan manusia tergantung pada niat, dan jika niatnya mencari sensasi, maka cuma akan mendapatkan sensasi saja.
Pada dasarnya buka puasa bertujuan untuk Melaksanakan ajaran Rasulullah tentang memberi buka pada sesama muslim yang sedang berpuasa, Menghidupkan bulan ramadhan dengan amal-amal shaleh, menumbuhkan Sifar dermawan, Ukhuwah islamiyah, Membantu meringankan kaum dhu’afa.
Maka tidaklah etis jika kegiatan yang mulia itu, dikerjakan atas dasar strategi untuk meraih simpati masyarakat saja. Sehingga akan membuat makna buka bersama menjadi hilang serta merendahkan nilai-nilai agama.

Kebebasan Berpolitik
Islam memberi kebebasan dalam urusan berpolitik seperti yang ditulis Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya Kebebasan dalam Islam, didasarkan pada asaz permusyawaratan. Merupakan ungkapan keinginan, pendapat umum dan mengambil keputusan supaya selalu mendengarkan suara rakya, menyimak pendapat serta merasakan problem mereka.
Seperti dalam hadist yang diriwayatkan oleh At-Thabarani mengungkapkan betapa pentingnya menyelesaikan permasalahan umat. “Barang siapa yang tidak peduli terhadap permasalahan umat Islam, maka ia tidak termasuk golongan mereka, dan barang siapa yang pagi dan sorenya tidak digunakan bernasehat kepada Allah, rasul-Nya, kitab-Nya, pemimpinnya dan seluruh umat Islam, maka ia bukan termasuk golongannya.”
Kewajiban ini yang harus diperkuat jikalau terjadi perang dan krisis, atau kepentingan umum agar supaya dapat mengalahkan musuh. Jikalau dalam keadaan amam, harus saling menasati, memperingatkan, menyiapkan rencana dan mengungkapkan pendapat yang berkaitan dengan kebutuhan umum demi membangun dan memajukan negara.
Selain memperbolehkan kebebasan dalam berpolitik, tidak lantas kebebebasan tersebut tanpa batas. Dalam Islam juga mengatur batasan atas kebebasan berpolitik, sehingga proses tersebut dilakukan dengan niatan yang baik serta perbuatan yang baik pula. Salah satunya mengatur supaya tidak berkata tentang sesuatu yang buruk, hal ini tertuliskan dalam Al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah, dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki bagimu amalan-amalanmu.” (Al-Ahzab:70-71).
Sering juga musim politik seperti sekarang ini, banyak orang disekeliling kita melontarkan kalimat yang sifatnya memantik kearahnya perdebatan, maka langkah kita harus menjunjung etika berdebat, yakni mengungkapkan pendapat serta menghargai pendapat orang lain tanpa terburu-buru memberi keputusan hukum.
Selain itu pendapat yang kita lontarkan tidaklah mengandung fitnah yang menyebabkan pembangkangan, serta tidak boleh mendatangkan penghinaan atau kata-kata kotor bahkan membicarakan rahasia orang lain.
Inilah etika berpolitik yang harus dibangun oleh umat Islam, kebebasan yang diberikan mempunyai pembatasan, sehingga mencerminkan bahwa Islam bukan agama yang buta akan politik serta bebas melakukan politik yang merugikan banyak pihak.

Pusat Energi
Puasa merupakan gemblengan kaum muslim untuk membentuk pribadi yang baik, Prof. DR. Salman Harun dalam bukunya Mutiara Al-Qura’an menjelaskan, puasa mengajarkan menekan empat pusat energi yang berpotensi untuk mendorong manusia dalam keburukan.
Yang pertama Jasmani dengan panca indranya, sekalipun jasmani dikatakan dikontrol oleh otak, tetapi ada manusia yang bertindak diluar kontrol otaknya, seperi orang yang terganggu syarafnya. Sehingga jasmani merupakan pusat energi yang memiliki otot dan syaraf.
Pusat energi Kedua adalah otak, yang menghasilkan energi yang disebut daya pikir sehingga ilmu pengetahuan dihasilkan. Dengan kolaborasi dengan jasmani, ilmu pengetahuan kemudian menjadi teknologi.
Pusat yang Ketiga adalah Hati, yang menghasilkan daya rasa yang mengakumulasikan menjadi daya semangat yang dapat menggerakkan perjuangan. Agama menyebutnya sebagai iman yang bisa mengobarkan semangat juang yang dahsyat.
Dan yang terakhir adalah Nafsu yang berpusat pada perut. Pusat energi ini berhubugan erat dengan jasmani, sehingga kekuatan jasmani banyak tergantung padanya.
Jasmani manusia bisa berbuat baik dan buruk, begitupun otak manusia. Sehingga akal bukan segala-galanya, karena akal bisa akal-akalan. Hatipun juga bisa berbuat hal yang sama, sehingga ada kosa kata bahasa Indonesia “baik Hati” dan “busuk hati”. Sedangkan nafsu pada dasarnya bukan berkonotasi negatif, karena ada nafsu yang baik, yakni dalam hal mengerjar cita-cita.
Dengan demikian apabila kaum muslimin mampu melaksanakan puasa dengan melibatkan keempat potensi dirinya itu, tentu sikap-sikap hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mereka akan semakin baik sesuai dengan norma-norma Islam.
Sehingga akan semakin memperkuan arti agama Islam dalam negara ini, yakni islam meletkkan tolak ukur kemuliaan dalam pengabdian kepada manusia dan kemanusiaan, bukan hanya dalam hal syariat agama saja. Bangsa yang bersuku dan agama ini dipersatukan oleh islam dalam bentuk dedikasi serta pengabdian tersebut.

Catatan: 26/06/2014

Baca Selengkapnya.. »»

“Bom Waktu” Siap Meledak 9 Juli

Masalah dan problem yang berkembang ditanah air menurut mantan ketua DPR/MPR Harmoko, di kolom Surat Kabar Pos Kota 2 Juni 2008 memberi refleksi pada ”tiga krisis”. Yakni krisis kelembagaan, krisis kepemimpinan, serta krisis kepercayaan. Krisis tersebut memberikan sumbangan tentang rawannya akan ketahanan nasional.
Dari berbagai macam ketahanan nasional yang paling rawan ada pada ketahanan politik, karena sering mengganggu stabilitas nasional. Dampak perkara ini sangat besar, karena dapat mengganggu pada pelaksanaan dan sistem demokrasi di bumi pertiwi.

Permasalahan yang ditimbulkan tersebut seakan menjadi “bumbu penikmat” pada pelaksanaan demokrasi yang sering dialami oleh negara ini. dampak tersebut adalah komflik pemilu yang berkelanjutan, mulai dari konflik daerah seperti yang terjadi di konflik Palopo Sulawesi Selatan, sampai konflik pilkada Jawa Barat.

Bahkan komflik ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Banyak negara di dunia mengalami hal yang sama, misalnya yang dialami oleh Ukraina yang di beritakan liputan6.com (25/5) dan pemilu presiden di Suriah yang dikabarkan oleh portalKBR.com (03/6).
Maka komflik politik ini jika selalu dibicarakan akan semakin menarik, bahkan akan memberi refrensi kedepannya. Supaya bisa menanggulangi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi nantinya.
Beralih kepada suasana pelaksanaan demokrasi tahun ini, ada hal yang menarik yang bisa dicermati. Pemilu tahun ini hanya diikuti dua kandidat presiden yang memungkinkan berlangsung satu putaran, banyaknya deklarasi ormas pendukung serta kentalnya black campaign. Ini seakan pemilu menyimpan “Bom Waktu” yang siap meledak pada tanggal 9 Juli mendatang.
Pilpres kali ini mirip perang dingin antara dua negara adi kuasa, yakni blok barat pimpinan Amerika (beserta sekutunya) dan blok timur Uni Soviet (beserta sekutunya) pada tahun 1947-1991. Yang keduanya unjuk kekuatan di bidang koalisi militer, ideologi, psikologi, persenjataan dan masih banyak lagi.
Bedanya pada pemilu kali ini pada unjuk kekuatan tersebut terjadi pada koalisi partai dan banyaknya organisasi yang berdeklarasi untuk mendukung para calon. Berapa banyak dukungan yang diberikan untuk kedua calon presiden ini?
Kompas (06/06) mencatat sudah 348 ormas dari berbagai kalangan yang berdeklarasikan dukungannya terhadap Prabowo. Bahkan media online beritahukum.com (26/6) memcatat perkembangan tiap hari dengan rata-rata 20 sampai 25 deklarasi, dengan total per 26 juni sebanyak 750 organisasi siap memenangkan calon nomor urut satu tersebut.
Sedangkan dipihak capres Jokowi juga di dukung dari berbagai element masyarakat. Misalnya yang dicatat solopos (25/5) dukungan alumni SMA N 6 Solo angkatan 1980 sampai 2013 untuk Jokowi, kompas.com (10/6) memberitakan puluhan ribu petani Priangan timur dukung Jokowi, sampai yang dicatat merdeka.com (40/6) 40 organisasi kepemudaan Nasional, dan masih banyak lagi yang mendukung pasangan no urut dua tersebut.
Bahkan “adu kekuatan” ini semakin panas ketika kedua belah pihak juga didukung para Purnawirawan TNI. Apakah semua ini mempunyai hasil yang positif untuk para calon?
solopos.com (26/6) menjawab pertanyaan tersebut dengan memberitakan survei dari Lembaga Ilmu Politik Indonesia (LIPI). Dalam hasil survei tersebut tercatat pasangan Jokowi-Jk mendapatkan 40% sedangkan Prabowo-Hatta mendapatkan 34%. Yang belum menentukan suara sebanyak 23%.
Hasil ini tentunya tidak lepas dari kerjasama antara para calon dengan tim suksesnya yang berhasil membentuk opini masyarakan akan keunggulan masing-masing calon. Sehingga banyak kelompok yang menjadi fanatis akan calon yang nantinya meneruskan tampuk kepemimpinan SBY.

Bom Waktu
Berbicara mengenai sifat fanatis ini, kita bukan membicarakan sikap yang sering dikoar-koarkan sebagai sifat orang Islam yang menginginkan tegaknya syariat Islam. Tetapi lebih kepada fanatik yang memiliki makna sebenarnya yakni teramat kuat kepercayaan (keyakinan) terhadap suatu ajaran.
Suatu artikel di psikoterapis.com, sikap fanatik ini bisa muncul dalam diri seseorang, dan sifat ini secara psikologi cenderung kurang memperhatikan kesadaran sehingga seringkali perilakunya kurang terkontrol dan tidak rasional. Fanatisme juga dipandang sebagai penyebab menguatnya perilaku kelompok yang tidak jarang dapat menimbulkan perilaku agresi.
Apakah sifat ini bisa menjadi “bom waktu” yang siap meledak pada saat pilpres 9 juli nanti? dan apakah penyebabnya?
“Bom” yang berdaya ledak kecil sudah terjadi di Yogyakarta, antara pendukung kedua belah pihak. Ini terjadi karena keduanya saling bertemu, dan perbedaan baju merekalah yang membuat kedua pendukung terjadi perkelahian.
Perkawinan antara egois dan fanatik ini yang membuat tidak jernih dalam berfikir. Merasa calon yang diusungnya yang paling benar dan paling pantas untuk memimpin keduanya.
Dari panasnya persaingan inilah dimungkinkan akan terjadi ledakan “Bom Waktu” pada tanggal 9 Juli yang berskala nasional? Dan kenapa bisa begitu?
Sejak diumumkannya Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta sebagi calon presiden, banyak isu-isu yang menyudutkan keduanya. Seakan-akan masyarakat sudah terkontaminasi virus black campaign, sehingga banyak yang saling mencaci contoh gampangnya seperti perang argumen dan cacian di sosial media.
Apalagi ditambahnya saling adu kekuatan tadi, yang ditonjolkannya pendukungan organisasi-organisasi secara terbuka. Deklarasi ini seakan membentuk suatu kumpulan dari banyak organisasi yang siap untuk unjuk kekuatan pada 9 juli nanti dan siap “meledakkan” amunisinya.
Apa Penyebab konflik konflik tersebut? Menurut wasekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Girindra Sandino, ada tiga hal yang menjadi perhatian pertama indikasi kecurangan, Kedua ketidak puasan akan hasil pemilu yang tidak sesuai target, dan terakhir kurangnya responsif dari aparatur keamanan.
Jadi kemungkinan terjadi konflik tersebut sangat nyata, apalagi sekarang ini banyak organisasi yang secara terang-terangan mendeklarasikan keterpihakan mereka, pastinya pengawasan akan lebih rumit jika tidak ada kontrol langsung dari tim pemenangan masing-masing calon.
Kontrol untuk organisasi yang telah bergabung itu penting, disamping meneruskan kampanye damai yang telah di sepakati kedua calon pada tanggal 3 juni silam juga sebagai “obat” konflik di Yogyakarta tidak menjadi konflik yang menyeluruh di nusantara. Proses demokrasi harus berjalan dengan lancar demi menciptakan indonesia yang lebih baik.

Catatan: 30/06/2014

Baca Selengkapnya.. »»

"Sengkuni" Tebar Isu, Bung Karno Angkat Bicara

Puncak pesta demokrasi di nusantara makin dekat, 9 Juli menjadi penentu terpilihnya pemimpin yang akan memimpin NKRI Lima tahun kedepan. Menentukan langkah perkembangan negara yang ber-ideologikan pancasila ini menjadi lebih baik atau justru makin tenggelam dalam arus global yang sangat sulit. 
Hiruk-pikuk kemeriahan demokrasi tidak kalah dengan kemeriahan Piala Dunia yang sedang terlaksana di Brazil. Bedanya saat piala dunia permainan bola bisa langsung di nikmati kecantikan permainannya, sedangkan pesta demokrasi kita diwarnai tebaran isu yang mengundang perpecahan dikalangan masyarakat.

Betapa tidak, isu negatif yang berkembang dalam pesta demokrasi bermuatan saling menjegal para calon pemimpin bangsa, dari isu SARA untuk Jokowi sampai isu pemecatan Prabowo dalam dunia militer, seakan bendera fairplay demokrasi masih belum berkibar di Bumi pertiwi ini.
Seakan permasalahan rumor yang berkembang, lebih besar untuk menjatuhkan dari pada pencarian dukungan positif dari masyarakat, dan semakin hari makin kental. Apalagi pemilihan ini hanya di ikuti dua calon presiden yang hanya berlangsung satu putaran, sehingga isu-isu yang muncul lebih jelas dan pasti siapa yang dituju.
Perselisihan ini diperkuat saling sindir antara kedua calon presiden serta pendukungnya. Jokowi saat memberi sambutan pada Rapat kerja Nasional II (Rakernas II) partai NasDem, menyindir lawannya hanya sebagai follower dalam hal berbusana kampanye. Selain itu di hari yang sama Prabowo juga berpidato didepan para Guru, Guru besar serta cendikiawan di Jakarta mengenai sebuah partai yang tidak suka membaca, dan menyebut PKS sebagai partai yang dipenuhi orang-orang cerdas.
Selain itu, hal yang sama dilakukan oleh para pendukung masing-masing calon. Seperti perihal masalah surat pemberhentian Prabowo dari ABRI ditanggapi oleh mantan Panglima ABRI Wiranto, karena telah terbukti terlibat penculikan aktivis tahun 1998 silam. Tetapi beda halnya dengan (purn) Letjen Suryo Prabowo, terkait surat Dewan Kehornatan Perwira (DKP) yang cacat hukum karena perwira yang bersangkutan tidak terlebih dahulu diadili di pengadilan militer sesuai SK bernomor 838/III/1995 dan hanya sebagai alat politik supaya Wiranto bebas dari jeratan hukum.
Masyarakatpun seakan termakan isu negatif yang belum tentu kebenarannya. Masyarakatpun banyak yang ribut sendiri, dari ribut di hajatan, tempat gotong royong ataupun di media sosial. Yang menegaskan runtuhnya keharmonisan masyarakat kita, serta melanggar UU Nomor 8 tahun 2012 tentang pemilu yang garis besarnya menghina seseorang, agama, suku, ras dsb dari parpol lainnya.
Seperti yang di beritakan www.merdeka.com para pendukung calon presiden saling ejek hingga nyaris bentrok, kejadian ini bertempat di bundaran Hotel Indonesia saat Car Free Day 25 Mei silam.
Seperti yang dikatakan mantan menteri pemberdayaan perempuan dan kepala BKKBN era Gus Dur, Khofifah Indar Parawansa yang dikutip dari www.rumahwarta.com, jangan hanya karena pilpres, tatanan masyarakat yang baik itu menjadi rusak.
Sebetulnya hal ini sering dialami masyarakat, seharusnya masyarakat lebih bisa mengambil hikmah dari pengalaman dimasa lalu. Bukan malah termakan isu negaif yang dibuat oleh para “sengkuni” (meminjam istilah dari bang Anas Urbaningrum) yang ingin merusak negara ini dari dalam.
Masyarakat Indonesia khususnya Jawa telah mengenal sosok Sengkuni, yakni tokoh antagonis dari cerita pewayangan. Sengkuni yang mempunyai nama asli Aryo Suman dengan keinginannya untuk menjadi patih di kerajaan Astina, sehingga mencoba membunuh patih Gondomono. Namun hal itu gagal sehingga Aryo Suman di hajar menjadi buruk rupa, sehingga mendapat julukan baru yakni Sengkuni.
Setelah menjadi patih Astina saat dipimpim oleh Prabu Duryudana, Sengkuni selalu memiliki siasat untuk mengadu Kurawa dengan Pandawa, sehingga tidak ada ketenangan dalam kerajaan Astina. Hal inilah yang harus menjadi perenungan masyarakat Indonesia.

Pesan Bung Karno
Dari pemasalahan yang terkait dengan pemulihan umum, Soekarno yang sebagi Proklamator kemerdekaan Indonesia telah mewanti-wanti segala hal negatif yang terjadi pada negara ini saat melakukan pemilihan umum.
Bung karno sebagi Presiden pertama pernah berkata, “Pemilihan umum jangan menjadi tempat pertempuran. Perjuangan kepartaian yang dapat memecah persatuan bangsa Indonesia.” Ini membuktikan bahwa pemilihan pemimpin sarat akan perpecahan atau pertempuran, apalagi fanatik yang berlebihan untuk salah satu partai sehingga menganggap yang lain salh atau buruk.
Selain itu, Bung Karno seakan sudah memprediksi perpecahan yang akan terjadi dengan berpesan, “Perjuanganku lebuh mudah karenammengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kalimat Bung Karno Ini seperti telah terjadi, disaat kita ingin mengangkan neneri ini menjadi lebih maju, tetapi didalamnya kita telah berperang yang di awali dengan isu-isu tersebut.
Prof. DR. Salman Harun dalam bukunya Mutiara Al-qur’an, memberi pendapatnya mengenai Islam sebagai agama mayoritas yang dipeluk masyarakat, objek sekaligus subjek pembangun bagsa adalah Islam, sehingga gagal dan berhasilnya pembangunan dinegeri ini sebagian besar ditangan umat islam.
Dalam kontek ini, sebagai bangsa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, masyarakat haruslah mengedepankan kepentingan bersama untuk mensukseskan tujuan dari kemerdekaan yang di proklamasikan 69 tahun silam. Bukan malah berkelahi dengan alasan pembangunan berdasarkan rumor ala “sengkuni” yang malah memperburuk keadaan bangsa.
Soekarno dalam pidato Hut RI tahun 1964, “firmah Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu: inna la yu ghoiyiruma bikaumin, hatta yu ghoiyiruma biamfusihim. Tuhan tidak merubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu akan merubah nasibnya.
Hal ini penegasan pandangan Soekarno dalam merubah nasib bangsa haruslah dimulai dari bangsa tersebut, yang mempunyai keinginan bersama menjadikan bangsa ini lebih maju dan bisa mensejahterakan rakyat didalamnya. Berdasarkan penggalan Surat ar-ra’du ayat 11 yang menjadi acuan Soekarno dalam merubah nasib suatu bangsa.
Sudah saatnya bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas, mengacuhkan kabar burung yang memecah dan mengedepankan proses demokrasi yang mempertimbangkan kredibilitas maupun kemampuan para calon untuk merealisasikan visi-misinya. Sehingga menghasilkan pemimpin dengan jiwa seperti Bung Karno dengan prinsipnya, “Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segala-galanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”
Selain itu tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa seperti yang ada di sila tiga Panca Sila, Persatuan Indonesia. Bhinika Tunggal Ika harus dijaga demi kedamaian di bumi pertiwi. Bukan menjadi ajang “perang” antara calom pemimpin, para purnawirawan ABRI dan masyarakat Indonesia.
Catatan: pada taggal 19/06/2014

Baca Selengkapnya.. »»

Kataku

ketika kita tidak mencoba, maka kita tidak akan mengalami kesalahan, sehingga apa yang disebut keberhasilan juga kita tidak akan mengetahuinya. Sesuatu yang baru itu lebih membuat kita tertantang, sehingga kita dapat menabung dalam bank pikiran kita, sehingga kita dapat mengambilnya suatu nanti apabila kita membutuhkanya.
Andi Riyanto
Template by : kendhin x-template.blogspot.com