ISTIAHAB
a. Defimisi Istishab
Istishab menurut bahasa arab: pengakuan antara penghubungan. Sedangkan menurut para ahli ilmu ushul fiqh: menetapkan hokum atas sesuatu berdasarkan hubunganya sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut.
Sesungguhnya asalmula sesuatu itu boleh, karena Allah SWT telah berfirman dalam kitabnya yang mulia:
“Dialah Allah yang menjadikan segala sesuatu yang ada dibumi untuk kamu”. (Q.S. 2/ Al-Baqarah: 29)
B. Kehujjahan Istishab
Istishab merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hokum sesuatu yang dihadapkan kepadanya.
Sebenarnya pengakuan atas istishab itu sendiri sebagai dalil atas hokum adalah penetapan secara majazi. Ulama’ Hanafiyyah menetapkan bahwasannya istishab adalah hujjah untuk mempertahankan, bukan untuk membuktikan. Maksud mereka dangan peryataaan tersebut ialah: bahwasannya istishab merupakan hujjah atas tetapnya sesuatu atas keadaan semula, dan menolak sesuatu yang menentang nya, sehingga ada dall yang menetapkan sesuatu yang menentangnya itu.
SYARIAT ORANG YANG SEBELUM KITA
Apabila Al-Qur’an dan Al-Sunnah menceritakan salah satu hokum syara’ yang disyariatkan oleh allah kepada umat yang mendahului kita, melalaui lisan para rasul mereka dan menyatakan bahwa hukum itu diwajibkan atas mereka, tidak ada perbedaan pendapat bahwa sannya itu hokum yang wajib diikuti. Sebagai mana firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa”. (Q.S. 2/ Al-Baqarah: 183).
Apabila Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dishahihkan suatu hokum yang menunjukan penghapusan dari kita, tidak ada keraguan kalau hokum itu bukan syariat bagi kita. Missal: bahwasannya orang yang durhaka itu tidak bisa menebus dosanya kecuali apabila ia membunuh dirinya sendiri, itu hokum yang merupakan beban oleh umat sebelum kita dan diangkat Allah untuk kita.
Firman Allah SWT:
“Dan kami telah menetapkan terhadap mereka di dalamny (At-Taubat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, teling dengan telinga, dan gigi dengan gigi, serta luka-luka (pun) ada qishasnya…”. (Q.S. 5/ Al-Maidah: 45)
MAHDZAB SAHABAT
Setelah rasullulah wafat, sekelompok sahabat yang mengetahui fiqh dan ilmu serta lama menemani Rasullah dan faham akan Al-Qur’an dan hokum-hukumnya dihadapkan untuk memberikan fatwa dan membentuk hokum untuk kaum muslimin. Dari mereka telah muncul sejumlah fatwa dalam berbagai kasus yang berkelainan.
Pertanyaannya apakah fatwa ini merupakan hokum yang ditambah kepada nash, dimana seorang mujtahid haruslah mengacu kepada sebelum kembali kepada qiyas?
Kesimpulan pendapat, bahwa pendapat sahabat dalah hal-hal yang tidak dapat dijangkau akal dan pendapat merupakan hujjah atas kaum muslimin, karena hal itu mestilah ia kaitkan berdasakan pendengarannya dari Rasulallah SAW.
Perselisihan pendapat hannyalah terjadi dalam perkataan sahabat yang keluar dari pendapatnya dan ijtihatnya dan tidak ada kata sepakat pada sahabat mengenainya.
Sesungguhnya asalmula sesuatu itu boleh, karena Allah SWT telah berfirman dalam kitabnya yang mulia:
“Dialah Allah yang menjadikan segala sesuatu yang ada dibumi untuk kamu”. (Q.S. 2/ Al-Baqarah: 29)
B. Kehujjahan Istishab
Istishab merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hokum sesuatu yang dihadapkan kepadanya.
Sebenarnya pengakuan atas istishab itu sendiri sebagai dalil atas hokum adalah penetapan secara majazi. Ulama’ Hanafiyyah menetapkan bahwasannya istishab adalah hujjah untuk mempertahankan, bukan untuk membuktikan. Maksud mereka dangan peryataaan tersebut ialah: bahwasannya istishab merupakan hujjah atas tetapnya sesuatu atas keadaan semula, dan menolak sesuatu yang menentang nya, sehingga ada dall yang menetapkan sesuatu yang menentangnya itu.
SYARIAT ORANG YANG SEBELUM KITA
Apabila Al-Qur’an dan Al-Sunnah menceritakan salah satu hokum syara’ yang disyariatkan oleh allah kepada umat yang mendahului kita, melalaui lisan para rasul mereka dan menyatakan bahwa hukum itu diwajibkan atas mereka, tidak ada perbedaan pendapat bahwa sannya itu hokum yang wajib diikuti. Sebagai mana firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa”. (Q.S. 2/ Al-Baqarah: 183).
Apabila Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dishahihkan suatu hokum yang menunjukan penghapusan dari kita, tidak ada keraguan kalau hokum itu bukan syariat bagi kita. Missal: bahwasannya orang yang durhaka itu tidak bisa menebus dosanya kecuali apabila ia membunuh dirinya sendiri, itu hokum yang merupakan beban oleh umat sebelum kita dan diangkat Allah untuk kita.
Firman Allah SWT:
“Dan kami telah menetapkan terhadap mereka di dalamny (At-Taubat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, teling dengan telinga, dan gigi dengan gigi, serta luka-luka (pun) ada qishasnya…”. (Q.S. 5/ Al-Maidah: 45)
MAHDZAB SAHABAT
Setelah rasullulah wafat, sekelompok sahabat yang mengetahui fiqh dan ilmu serta lama menemani Rasullah dan faham akan Al-Qur’an dan hokum-hukumnya dihadapkan untuk memberikan fatwa dan membentuk hokum untuk kaum muslimin. Dari mereka telah muncul sejumlah fatwa dalam berbagai kasus yang berkelainan.
Pertanyaannya apakah fatwa ini merupakan hokum yang ditambah kepada nash, dimana seorang mujtahid haruslah mengacu kepada sebelum kembali kepada qiyas?
Kesimpulan pendapat, bahwa pendapat sahabat dalah hal-hal yang tidak dapat dijangkau akal dan pendapat merupakan hujjah atas kaum muslimin, karena hal itu mestilah ia kaitkan berdasakan pendengarannya dari Rasulallah SAW.
Perselisihan pendapat hannyalah terjadi dalam perkataan sahabat yang keluar dari pendapatnya dan ijtihatnya dan tidak ada kata sepakat pada sahabat mengenainya.