Semua rukun islam mempunyai nama panggilan masing-masing Seperti orang yang mendirikan sholat disebut mushollîn, orang yang menunaikan zakat di namakan muzakki dan orang yang menjalankan puasa (shoum) dikenal dengan shôimîn, maka orang yang melaksanakan haji dipanggil hajji untuk jamaah pria dan hajjah bagi jamaah perempuan.
Permasalahannya, kenapa hanya pelaksana rukun Islam kelima saja yang gelarnya tetap melekat? meskipun sudah pulang (tidak menjalankan lagi) dari prosesi haji. Tetapi gelar untuk rukun Islam yang keempat lainnya itu tidak pernah disebut-sebut lagi. Rasullah SAW hanya melahsanakan haji sekali seumur hidupnya, tetapi tidak ada teks manapun yang menulia gelar hajji (H) didepan nama Muhammad, begitupun para khalifah (khulafâur rasyidîn) dan para sahabat. Tak ada satu tuntunan, baik di dalam Al Qur’an maupun Hadist yang menyematkan gelar Al Hajj, Hajji ataupun Hajjah. Yang ada hanya kalimat seruan untuk melaksanakan ibadah haji (dan umrah) panggilan Allah SWT semata (wa atimmul hajja wal ‘umrota lillâh – QS Al Baqarah 196).
Dalam ajaran Islam gelar tertinggi dan paling mulia dianugerahkan kepada para penegak syahadah (rukun Islam pertama), meski orangnya sudah tiada, bahkan tubuhnya sudah hancur berkalang tanah dan tidak menikmati panggilan gelar tersebut, tetapi sesungguhnya mereka hidup dan diberi rezeki di sisi Allah SWT (QS Al Baqarah 154 dan Ali ‘Imran 169-171). Itulah “Syuhada”, orang yang mati syahid di jalan Allah.
“H” Dan “HJ” Dimasyarakat Dan Pejabat
Di Indonesia, setiap orang yang pulang dari berhaji nama depannya bertambah dengan titel, haji (H) untuk yang kaum adam dan hajjah (Hj) untuk kaum hawa, sudah menjadi tradisi turun temurun, bahwa kepulangan dari haji ke baitullah gelar pun di semat pada nama asli, seolah itu menjadi sebuah keharusan, dan tidak boleh tidak. Tidak sedikit orang akan marah jika tidak dipanggil dengan sebutan haji atau hajjah. Jadi, di Indonesia (tidak semuanya) haji sebatas simbol berupa tambahan gelar di depan nama H (haji) atau HJ (hajjah) dan memakai peci putih lengkap dengan sorbannya yang tidak memiliki manfaat bagi orang banyak. Bagi seorang ustadz, kiai, atau tuan guru tentunya pemakaian gelar haji ini akan meningkatkan nilai jual di mata umat. Istilah dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Istilah Agama Islam dan informasi tambahan dari penulis yang berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari-hari. Perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya istilah yang seringkali dipakai oleh orang Islam Indonesia ini tidak semuanya berasal dari Islam atau bahasa Arab secara langsung. Sebagian besar telah mengalami pencampuran kebudayaan Indonesia terutama budaya Jawa. Dan yang memprihatinkan hal ini banyak yang tidak diketahui oleh masyarakat kita.
Gelar Haji sebatas panggilan kehormatan di masyarakat yang mungkin punya muatan tertentu, misalnya untuk otoritas keagamaan, menaikkan status sosial,dan bahkan gengsi. Paruh pertama abad XX, haji dilihat sebagai jembatan tercepat meraih martabat di tengah masyarakat, banyak anak muda yang ingin melaksanakan ibadah haji, dilanjutkan menuntut ilmu dengan tekun. Sekembalinya dari Tanah Suci, mereka dihormati dan dengan segera akan dilamar untuk menikah (Vredenbergt:1997). Gelar Haji mungkin lebih pantas diberikan kepada jamaah haji yang menggunakan perjalanan laut (sebelum tahun 70-an), dimana fasilitas transportasi dan akomodasi sejak dari tanah air hingga di tanah suci belum memadai, gangguan dari kelompok perapok, belum lagi cuaca gurun yang berseberangan dengan fisik jamaah Indonesia. Di masa itu diberlakukan “kotum” (undian giliran berdasarkan kuota haji) oleh pemerintah RI (bukan oleh pemerintah Arab Saudi), karena keterbatasan kapasitas kapal laut. Apabila kriteria gelar Haji dilihat dari segi mahal, berat dan lamanya perjalanan dan tingkat kesulitannya melakukan perjalanan ke Baitullah.
Kebanyakan Bapah Haji dan Ibu Hajjah di Indonesia tidak pernah tahu asal muasal gelar tersebut. Berdasarkan ensiklopedi sejarah perlawanan muslim indonesia terhadap penjajahan belanda di tanah air (Wiltox:1997). Gelar haji/ hajjah itu adalah gelar yang di tabalkan oleh pemerintahan bentukan belanda di tanah air ketika itu kepada setiap ada yang berangkat Haji. Haji, oleh pemerintah belanda di anggap sebagai rutinitas umat muslim di Tanah air yang dapat membangkitkan semangat perlawanan terhadap penjajah atas nama seruan jihad. haji, di khawatirkan menjadi sarana untuk menggelorakan semangat juang masyarakat muslim indonesia untuk mengusir penjajahan di tanah air. Oleh karena itu, pemerintah belanda mengambil kebijakan dengan "mengkarantinakan" setiap yang ingin menunaikan ibadah Haji pada suatu tempat (salah satu pulau di gugusan kepulauan seribu - dengan dalih manasik - disana masih terdapat bekas asrama). Disana para jamaah di kumpulkan, di data, baru kemudian di tabalkan gelar haji pada nama depan, yang kemudian baru di berangkatkan. Tujuan dari tindakan pemerintan belanda ketika itu memberi gelar haji adalah untuk berjaga-jaga ketika muncul perlawanan, maka dapat segera di minimalisir atau bahkan di redam. Ketika perlawanan itu muncul, maka dengan mudah pemerintah belanda "menjemput" bapak Haji dan ibu Hajjah yang oleh mereka di anggap sebagai biang pengobar semangat jihad melawan penjajahan, dari sana gelar itu berawal, hingga sekarang masih terus menjadi tradisi turun temurun di tanah air, bahwa setiap yang pulang dari tanah suci dari berhaji akan mendapat gelar Haji dan Hajjah. Maka tidak mengherankan ketika kita keluar negeri, tidak kita temukan penyebutan haji pada pribadi muslim yang telah menunaikan rukun islam kelima tersebut. Sebagai akibat dari pengaruh budaya melayu yang kental ketika itu, penabalan gelar haji sedikit demi sedikit melebar ke wilayah melayu lainnya, seperti malaysia dan sebagai asia tenggara.
Sebijaknya kita menempatkan gelar Haji pada proporsinya, dimana sebutan tersebut hanya digunakan temporer selagi menunaikan manasik haji di Mekkah. Selesai ibadah haji kita berbaur kembali ke tengah umat Muslimin umumnya, dengan tidak begitu perlu mencantumkan titel H di depan nama kita, karena kita akan memikul beban tanggung jawab kehajian kita lebih baik daripada sebelum jadi Haji.
Di kalangan pejabat kita banyak yang telah berhaji, tetapi tidak ada perubahan yang dihasilkan, misalnya berkurangnya korupsi. Yang terjadi malah sebaliknya, praktik korupsi justru menjadi-jadi. Karena itu, pernahkah menyoal hakikat ke-haji-an kita sepulang dari Tanah Suci? Selama ini, pertanyaan seperti itu sering ditujukan pada individu atau masing-masing jamaah haji. Tetapi, pernahkah kita mempertanyakan hal itu dalam konteks nasional? Tegasnya, mengapa banyak rakyat Indonesia yang berhaji, tetapi tidak mampu mengubah kondisi bangsa?
Seharusnya ibadah haji dianggap sebagai ibadah peralihan (rites de passages) bagi setiap Muslim. Haji menjadi satu fase transisi dalam kehidupan orang Islam. Setelah menunaikan ibadah haji, tahap kehidupan baru dimulai. Diharapkan ada perubahan pada jamaah haji sepulang dari Tanah Suci. Karena itu, haji menjadi ungkapan ruh zaman. Haji memberi warna bagi masa kapan ia dilaksanakan.
Terbongkarnya kasus korupsi yang melibatkan sejumlah mantan pejabat Departemen Agama menjadi bukti otentik betapa penyelenggaraan haji sarat dengan korupsi. Jika dirunut, mulai dari pendaftaran hingga kepulangan jamaah haji, akan dijumpai betapa jamaah selalu dipertontonkan praktik korupsi oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Jika demikian, bagaimana mungkin jamaah haji Indonesia dapat diharapkan sebagai agen perubahan masyarakat.
Hal ini diperparah kenyataan, banyak orang yang berpikir ibadah haji adalah upaya pembersihan harta kekayaan yang berasal dari korupsi. Haji menjadi bentuk taubat penyucian diri koruptor. Mereka berpikir, ibadah haji yang mereka lakukan akan membersihkan semua kesalahan. Orang yang melakukan kesalahan, lalu bertaubat dan pergi haji tentu dipuji, tetapi tidak dengan uang haram. Para ulama sepakat, uang yang berasal dari sesuatu yang haram, seperti menang lotre, judi, hasil korupsi, dan memeras orang, tidak boleh digunakan untuk kebaikan, seperti haji. Sarana ibadah yang dihasilkan dari uang haram tidak akan diterima. Nabi menjelaskan, Allah tidak akan menerima sedekah yang berasal dari uang judi. Begitu juga haji. Rasulullah SAW juga bersabsda “ sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, barang siapa yang hijrahnya menuju (keridhoan) Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya itu kearah (keridhoan) Allah dan Rasulnya. Barabg siapa yang hijrahnya karena dunia (harta atau kemegahan dunia), atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kearah yang ditujuinya.” (H.R bukhori muslim) dalam hasdist ini jelas bahwa segala perbuatan tang kelihatannya baik tapi apa yang dsipakai untuk menjalankan perbuatan itu tidak baik maka amal perbuatannya juga tidak diterima oleh Allah SWT. Ketika seorang berhaji dengan uang hasil korupsi, hajinya tidak diterima sama sekali. Karena itu, tidak heran jika korupsi merajalela di negeri ini. Jika demikian kenyataannya, hakikat ibadah haji yang diharapkan dapat mengubah perilaku dan sikap hidup bagi individu yang melaksanakan, sebagai tahap perubahan ke arah lebih baik, tidak tercapai.
Kita semua mengetahui bahwa setiap tahun, ada ratusan bahkan ribuan penduduk Indonesia berangkat dan kembali dari tanah suci Mekah dengan atribut baru: sebagai Bapak Haji atau Ibu Hajjah. Harapan kita, dengan atribut baru itu, akan lahir suasana kehidupan baru yang lebih baik. Harapan ini perlu ditandaskan, karena bertambahnya jumlah hujjaj (mereka yang pergi haji) belum berimplikasi secara signifikan bagi perubahan masyarakat ke arah lebih baik.
Kondisi yang tidak selaras antara jumlah haji dengan membaiknya perilaku masyarakat, tidak hanya monopoli negara kita, tetapi juga negara lain. Hal ini sebagai mendorong guru besar Al-Azhar Kairo, Dr Sayyid Razak Thawil pada tahun 1997, menolak pemakaian gelar “haji” bagi yang telah melaksanakan ibadah itu. Beliau mengatakan bahwa penggunaan gelar haji seringkali merusak kesucian ibadah, akibatnya ibadah haji menjadi kulit tanpa isi.
Bagi sebagian kalangan kita, mungkin pendapat tersebut terkesan berlebihan, karena gelar haji dianggap sebagai simbol dari legitimasi formal tingkat spiritualitas seseorang. Persoalannya, sudahkah saudara-saudara kita yang kini mengenakan atribut “Bapak Haji” dan “Ibu Hajjah” yang jumlahnya ratusan ribu bahkan jutaan itu mampu berbuat sesuatu secara signifikan bagi perubahahan masyarakat ke arah yang lebih baik?
Kalau belum terealisasi hal tersebut, maka dari pendapat Sayyid Razak di atas seolah mengingatkan kita bahwa sejatinya makna substantif dari pelaksanaan ibadah haji itu tidak terletak pada huruf “H” atau “Hj” di muka nama seseorang. Tetapi, pada terealisasinya nilai-nilai peribadatan haji yang membekaskan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa kemabruran dari ibadah haji adalah ketika yang bersangkutan mampu meningkatkan kualitas amal saleh, seperti kedermawanan, kerendahan hati, keadilan, dan sifat-sifat kemanusiaannya setelah kembali dari Makkah al-Mukarramah. Bukannya untuk panggilan kehormatan di masyarakat yang mungkin punya muatan tertentu, misalnya untuk otoritas keagamaan, menaikkan status sosial,dan bahkan gengsi saja.
Tanpa adanya “bekas” kesalehan yang dihasilkan dari prosesi ibadah haji seperti di atas, kiranya usulan guru besar Universitas Al-Azhar Kairo itu, mungkin ada baiknya dipertimbangkan untuk dijadikan semacam “fatwa” yang resmi dan harus diikuti. Akan mwenghasilkan, bahwa ibadah haji sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas iman, ukurannya jelas, tidak dilihat dari gelar haji yang disandangnya. Akan tetapi, sejauh mana ibadah yang telah dilaksanakan itu membekas dalam hati, lalu direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti, ibadah haji sejatinya merupakan upacara inisiasi untuk melahirkan kembali seorang manusia dengan kualitas pribadi yang sama sekali baru. Di sinilah nuansa reformasi tampak dalam ibadah haji, terutama reformasi sikap keberagamaan.
Darisini bisa dilihat nilai ibadah haji sesungguhnya bukan pada huruf “H” atau “Hj” di muka nama seseorang. Bukan pula, misalnya, karena yang bersangkutan resmi menjadi anggota Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), tetapi pada aktualisasi nilai-nilai simbolik peribadatannya yang membekaskan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejatinya, gelar haji merupakan bagian dari legitimasi formal tingkat spiritualitas seseorang. Artinya, gelar itu hanya berhak dimiliki oleh mereka yang telah menunaikan rukun (fondasi) Islam kelima. Namun, apakah legitimasi formal itu menunjukkan kualitas spiritual yang substansial? Inilah persoalan krusial yang sulit dijawab. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Allah tidak melihat (kualitas iman) kamu sekalian dari pakaian dan atribut yang dipakai, tetapi dari (keimanan) yang ada dalam hati-hati kamu sekalian”. Artinya, ibadah haji sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas iman, ukurannya jelas, tidak dilihat dari gelar haji yang disandangnya. Tetapi, sampai sejauh mana ibadah yang telah dilaksanakan membekas dalam hati, lalu terefleksi dalam kehidupan sehari-hari.
Semuanya hikmah yang diambil dari semua permasalahan-permasalahan yang serba kontrofersi dengan pemaknaan atau bahkan perlu tidaknya gelar haji yang dipersembahkan kepada saudara-saudara kita yang telah dipanggil dengan tulus ikhlas atau hanya untuk mencari sensasi dengan gelar haji saja, menjadi pertimbangan diri kita pribadi dan kebijakan departemen yang berhubungan dengan hal ini, supaya jangan gelar haji ini cuma menjadi kedok oknum-oknum yang merusak nilai haji tersebut, karena sudah terlalu banyak saudara-saudara kita yang pulang dari Baitullah hanya untuk meningkatkan setatus social saja tanpa merenungkan dan melaksanakan hikmah dari ibadah haji yang menjadi rukun islam yang kelima ini. Dan menyelesaikan kontrofersi yang berkaitan dengan “bid’ah” atau “Tidak bid’ah” dan “pantas” atau “tidak pantas” kah gelar haji ini diselipkan kepada saudara-saudara muslim kita dan bisa membawa berkah ibadah haji kepada masyarakat terutama dinegara tercinta Insdonesia ini.
Sesama orang komunis saja yang sudah jelas berfaham atheis (tak berTuhan), meskipun terhadap pejabat/pimpinannya tidak pernah memanggil Boss tetapi dengan sapaan akrab “kamerad” (kawan). Apalagi ajaran Islam yang “rahmatan lil ‘âlamîn” amat menghargai “innamal mu’minîna ikhwatun” (sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara – Al Hujurat 10); maka kehormatan yang paling mengundang rahmat, baik bagi alumni haji ataupun kepada sesama ikhwan Muslim adalah panggilan “akhi” (saudaraku), terasa lebih hangat tanpa sekat-sekat pangkat dan predikat.
Permasalahannya, kenapa hanya pelaksana rukun Islam kelima saja yang gelarnya tetap melekat? meskipun sudah pulang (tidak menjalankan lagi) dari prosesi haji. Tetapi gelar untuk rukun Islam yang keempat lainnya itu tidak pernah disebut-sebut lagi. Rasullah SAW hanya melahsanakan haji sekali seumur hidupnya, tetapi tidak ada teks manapun yang menulia gelar hajji (H) didepan nama Muhammad, begitupun para khalifah (khulafâur rasyidîn) dan para sahabat. Tak ada satu tuntunan, baik di dalam Al Qur’an maupun Hadist yang menyematkan gelar Al Hajj, Hajji ataupun Hajjah. Yang ada hanya kalimat seruan untuk melaksanakan ibadah haji (dan umrah) panggilan Allah SWT semata (wa atimmul hajja wal ‘umrota lillâh – QS Al Baqarah 196).
Dalam ajaran Islam gelar tertinggi dan paling mulia dianugerahkan kepada para penegak syahadah (rukun Islam pertama), meski orangnya sudah tiada, bahkan tubuhnya sudah hancur berkalang tanah dan tidak menikmati panggilan gelar tersebut, tetapi sesungguhnya mereka hidup dan diberi rezeki di sisi Allah SWT (QS Al Baqarah 154 dan Ali ‘Imran 169-171). Itulah “Syuhada”, orang yang mati syahid di jalan Allah.
“H” Dan “HJ” Dimasyarakat Dan Pejabat
Di Indonesia, setiap orang yang pulang dari berhaji nama depannya bertambah dengan titel, haji (H) untuk yang kaum adam dan hajjah (Hj) untuk kaum hawa, sudah menjadi tradisi turun temurun, bahwa kepulangan dari haji ke baitullah gelar pun di semat pada nama asli, seolah itu menjadi sebuah keharusan, dan tidak boleh tidak. Tidak sedikit orang akan marah jika tidak dipanggil dengan sebutan haji atau hajjah. Jadi, di Indonesia (tidak semuanya) haji sebatas simbol berupa tambahan gelar di depan nama H (haji) atau HJ (hajjah) dan memakai peci putih lengkap dengan sorbannya yang tidak memiliki manfaat bagi orang banyak. Bagi seorang ustadz, kiai, atau tuan guru tentunya pemakaian gelar haji ini akan meningkatkan nilai jual di mata umat. Istilah dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Istilah Agama Islam dan informasi tambahan dari penulis yang berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari-hari. Perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya istilah yang seringkali dipakai oleh orang Islam Indonesia ini tidak semuanya berasal dari Islam atau bahasa Arab secara langsung. Sebagian besar telah mengalami pencampuran kebudayaan Indonesia terutama budaya Jawa. Dan yang memprihatinkan hal ini banyak yang tidak diketahui oleh masyarakat kita.
Gelar Haji sebatas panggilan kehormatan di masyarakat yang mungkin punya muatan tertentu, misalnya untuk otoritas keagamaan, menaikkan status sosial,dan bahkan gengsi. Paruh pertama abad XX, haji dilihat sebagai jembatan tercepat meraih martabat di tengah masyarakat, banyak anak muda yang ingin melaksanakan ibadah haji, dilanjutkan menuntut ilmu dengan tekun. Sekembalinya dari Tanah Suci, mereka dihormati dan dengan segera akan dilamar untuk menikah (Vredenbergt:1997). Gelar Haji mungkin lebih pantas diberikan kepada jamaah haji yang menggunakan perjalanan laut (sebelum tahun 70-an), dimana fasilitas transportasi dan akomodasi sejak dari tanah air hingga di tanah suci belum memadai, gangguan dari kelompok perapok, belum lagi cuaca gurun yang berseberangan dengan fisik jamaah Indonesia. Di masa itu diberlakukan “kotum” (undian giliran berdasarkan kuota haji) oleh pemerintah RI (bukan oleh pemerintah Arab Saudi), karena keterbatasan kapasitas kapal laut. Apabila kriteria gelar Haji dilihat dari segi mahal, berat dan lamanya perjalanan dan tingkat kesulitannya melakukan perjalanan ke Baitullah.
Kebanyakan Bapah Haji dan Ibu Hajjah di Indonesia tidak pernah tahu asal muasal gelar tersebut. Berdasarkan ensiklopedi sejarah perlawanan muslim indonesia terhadap penjajahan belanda di tanah air (Wiltox:1997). Gelar haji/ hajjah itu adalah gelar yang di tabalkan oleh pemerintahan bentukan belanda di tanah air ketika itu kepada setiap ada yang berangkat Haji. Haji, oleh pemerintah belanda di anggap sebagai rutinitas umat muslim di Tanah air yang dapat membangkitkan semangat perlawanan terhadap penjajah atas nama seruan jihad. haji, di khawatirkan menjadi sarana untuk menggelorakan semangat juang masyarakat muslim indonesia untuk mengusir penjajahan di tanah air. Oleh karena itu, pemerintah belanda mengambil kebijakan dengan "mengkarantinakan" setiap yang ingin menunaikan ibadah Haji pada suatu tempat (salah satu pulau di gugusan kepulauan seribu - dengan dalih manasik - disana masih terdapat bekas asrama). Disana para jamaah di kumpulkan, di data, baru kemudian di tabalkan gelar haji pada nama depan, yang kemudian baru di berangkatkan. Tujuan dari tindakan pemerintan belanda ketika itu memberi gelar haji adalah untuk berjaga-jaga ketika muncul perlawanan, maka dapat segera di minimalisir atau bahkan di redam. Ketika perlawanan itu muncul, maka dengan mudah pemerintah belanda "menjemput" bapak Haji dan ibu Hajjah yang oleh mereka di anggap sebagai biang pengobar semangat jihad melawan penjajahan, dari sana gelar itu berawal, hingga sekarang masih terus menjadi tradisi turun temurun di tanah air, bahwa setiap yang pulang dari tanah suci dari berhaji akan mendapat gelar Haji dan Hajjah. Maka tidak mengherankan ketika kita keluar negeri, tidak kita temukan penyebutan haji pada pribadi muslim yang telah menunaikan rukun islam kelima tersebut. Sebagai akibat dari pengaruh budaya melayu yang kental ketika itu, penabalan gelar haji sedikit demi sedikit melebar ke wilayah melayu lainnya, seperti malaysia dan sebagai asia tenggara.
Sebijaknya kita menempatkan gelar Haji pada proporsinya, dimana sebutan tersebut hanya digunakan temporer selagi menunaikan manasik haji di Mekkah. Selesai ibadah haji kita berbaur kembali ke tengah umat Muslimin umumnya, dengan tidak begitu perlu mencantumkan titel H di depan nama kita, karena kita akan memikul beban tanggung jawab kehajian kita lebih baik daripada sebelum jadi Haji.
Di kalangan pejabat kita banyak yang telah berhaji, tetapi tidak ada perubahan yang dihasilkan, misalnya berkurangnya korupsi. Yang terjadi malah sebaliknya, praktik korupsi justru menjadi-jadi. Karena itu, pernahkah menyoal hakikat ke-haji-an kita sepulang dari Tanah Suci? Selama ini, pertanyaan seperti itu sering ditujukan pada individu atau masing-masing jamaah haji. Tetapi, pernahkah kita mempertanyakan hal itu dalam konteks nasional? Tegasnya, mengapa banyak rakyat Indonesia yang berhaji, tetapi tidak mampu mengubah kondisi bangsa?
Seharusnya ibadah haji dianggap sebagai ibadah peralihan (rites de passages) bagi setiap Muslim. Haji menjadi satu fase transisi dalam kehidupan orang Islam. Setelah menunaikan ibadah haji, tahap kehidupan baru dimulai. Diharapkan ada perubahan pada jamaah haji sepulang dari Tanah Suci. Karena itu, haji menjadi ungkapan ruh zaman. Haji memberi warna bagi masa kapan ia dilaksanakan.
Terbongkarnya kasus korupsi yang melibatkan sejumlah mantan pejabat Departemen Agama menjadi bukti otentik betapa penyelenggaraan haji sarat dengan korupsi. Jika dirunut, mulai dari pendaftaran hingga kepulangan jamaah haji, akan dijumpai betapa jamaah selalu dipertontonkan praktik korupsi oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Jika demikian, bagaimana mungkin jamaah haji Indonesia dapat diharapkan sebagai agen perubahan masyarakat.
Hal ini diperparah kenyataan, banyak orang yang berpikir ibadah haji adalah upaya pembersihan harta kekayaan yang berasal dari korupsi. Haji menjadi bentuk taubat penyucian diri koruptor. Mereka berpikir, ibadah haji yang mereka lakukan akan membersihkan semua kesalahan. Orang yang melakukan kesalahan, lalu bertaubat dan pergi haji tentu dipuji, tetapi tidak dengan uang haram. Para ulama sepakat, uang yang berasal dari sesuatu yang haram, seperti menang lotre, judi, hasil korupsi, dan memeras orang, tidak boleh digunakan untuk kebaikan, seperti haji. Sarana ibadah yang dihasilkan dari uang haram tidak akan diterima. Nabi menjelaskan, Allah tidak akan menerima sedekah yang berasal dari uang judi. Begitu juga haji. Rasulullah SAW juga bersabsda “ sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, barang siapa yang hijrahnya menuju (keridhoan) Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya itu kearah (keridhoan) Allah dan Rasulnya. Barabg siapa yang hijrahnya karena dunia (harta atau kemegahan dunia), atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kearah yang ditujuinya.” (H.R bukhori muslim) dalam hasdist ini jelas bahwa segala perbuatan tang kelihatannya baik tapi apa yang dsipakai untuk menjalankan perbuatan itu tidak baik maka amal perbuatannya juga tidak diterima oleh Allah SWT. Ketika seorang berhaji dengan uang hasil korupsi, hajinya tidak diterima sama sekali. Karena itu, tidak heran jika korupsi merajalela di negeri ini. Jika demikian kenyataannya, hakikat ibadah haji yang diharapkan dapat mengubah perilaku dan sikap hidup bagi individu yang melaksanakan, sebagai tahap perubahan ke arah lebih baik, tidak tercapai.
Kita semua mengetahui bahwa setiap tahun, ada ratusan bahkan ribuan penduduk Indonesia berangkat dan kembali dari tanah suci Mekah dengan atribut baru: sebagai Bapak Haji atau Ibu Hajjah. Harapan kita, dengan atribut baru itu, akan lahir suasana kehidupan baru yang lebih baik. Harapan ini perlu ditandaskan, karena bertambahnya jumlah hujjaj (mereka yang pergi haji) belum berimplikasi secara signifikan bagi perubahan masyarakat ke arah lebih baik.
Kondisi yang tidak selaras antara jumlah haji dengan membaiknya perilaku masyarakat, tidak hanya monopoli negara kita, tetapi juga negara lain. Hal ini sebagai mendorong guru besar Al-Azhar Kairo, Dr Sayyid Razak Thawil pada tahun 1997, menolak pemakaian gelar “haji” bagi yang telah melaksanakan ibadah itu. Beliau mengatakan bahwa penggunaan gelar haji seringkali merusak kesucian ibadah, akibatnya ibadah haji menjadi kulit tanpa isi.
Bagi sebagian kalangan kita, mungkin pendapat tersebut terkesan berlebihan, karena gelar haji dianggap sebagai simbol dari legitimasi formal tingkat spiritualitas seseorang. Persoalannya, sudahkah saudara-saudara kita yang kini mengenakan atribut “Bapak Haji” dan “Ibu Hajjah” yang jumlahnya ratusan ribu bahkan jutaan itu mampu berbuat sesuatu secara signifikan bagi perubahahan masyarakat ke arah yang lebih baik?
Kalau belum terealisasi hal tersebut, maka dari pendapat Sayyid Razak di atas seolah mengingatkan kita bahwa sejatinya makna substantif dari pelaksanaan ibadah haji itu tidak terletak pada huruf “H” atau “Hj” di muka nama seseorang. Tetapi, pada terealisasinya nilai-nilai peribadatan haji yang membekaskan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa kemabruran dari ibadah haji adalah ketika yang bersangkutan mampu meningkatkan kualitas amal saleh, seperti kedermawanan, kerendahan hati, keadilan, dan sifat-sifat kemanusiaannya setelah kembali dari Makkah al-Mukarramah. Bukannya untuk panggilan kehormatan di masyarakat yang mungkin punya muatan tertentu, misalnya untuk otoritas keagamaan, menaikkan status sosial,dan bahkan gengsi saja.
Tanpa adanya “bekas” kesalehan yang dihasilkan dari prosesi ibadah haji seperti di atas, kiranya usulan guru besar Universitas Al-Azhar Kairo itu, mungkin ada baiknya dipertimbangkan untuk dijadikan semacam “fatwa” yang resmi dan harus diikuti. Akan mwenghasilkan, bahwa ibadah haji sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas iman, ukurannya jelas, tidak dilihat dari gelar haji yang disandangnya. Akan tetapi, sejauh mana ibadah yang telah dilaksanakan itu membekas dalam hati, lalu direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti, ibadah haji sejatinya merupakan upacara inisiasi untuk melahirkan kembali seorang manusia dengan kualitas pribadi yang sama sekali baru. Di sinilah nuansa reformasi tampak dalam ibadah haji, terutama reformasi sikap keberagamaan.
Darisini bisa dilihat nilai ibadah haji sesungguhnya bukan pada huruf “H” atau “Hj” di muka nama seseorang. Bukan pula, misalnya, karena yang bersangkutan resmi menjadi anggota Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), tetapi pada aktualisasi nilai-nilai simbolik peribadatannya yang membekaskan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejatinya, gelar haji merupakan bagian dari legitimasi formal tingkat spiritualitas seseorang. Artinya, gelar itu hanya berhak dimiliki oleh mereka yang telah menunaikan rukun (fondasi) Islam kelima. Namun, apakah legitimasi formal itu menunjukkan kualitas spiritual yang substansial? Inilah persoalan krusial yang sulit dijawab. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Allah tidak melihat (kualitas iman) kamu sekalian dari pakaian dan atribut yang dipakai, tetapi dari (keimanan) yang ada dalam hati-hati kamu sekalian”. Artinya, ibadah haji sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas iman, ukurannya jelas, tidak dilihat dari gelar haji yang disandangnya. Tetapi, sampai sejauh mana ibadah yang telah dilaksanakan membekas dalam hati, lalu terefleksi dalam kehidupan sehari-hari.
Semuanya hikmah yang diambil dari semua permasalahan-permasalahan yang serba kontrofersi dengan pemaknaan atau bahkan perlu tidaknya gelar haji yang dipersembahkan kepada saudara-saudara kita yang telah dipanggil dengan tulus ikhlas atau hanya untuk mencari sensasi dengan gelar haji saja, menjadi pertimbangan diri kita pribadi dan kebijakan departemen yang berhubungan dengan hal ini, supaya jangan gelar haji ini cuma menjadi kedok oknum-oknum yang merusak nilai haji tersebut, karena sudah terlalu banyak saudara-saudara kita yang pulang dari Baitullah hanya untuk meningkatkan setatus social saja tanpa merenungkan dan melaksanakan hikmah dari ibadah haji yang menjadi rukun islam yang kelima ini. Dan menyelesaikan kontrofersi yang berkaitan dengan “bid’ah” atau “Tidak bid’ah” dan “pantas” atau “tidak pantas” kah gelar haji ini diselipkan kepada saudara-saudara muslim kita dan bisa membawa berkah ibadah haji kepada masyarakat terutama dinegara tercinta Insdonesia ini.
Sesama orang komunis saja yang sudah jelas berfaham atheis (tak berTuhan), meskipun terhadap pejabat/pimpinannya tidak pernah memanggil Boss tetapi dengan sapaan akrab “kamerad” (kawan). Apalagi ajaran Islam yang “rahmatan lil ‘âlamîn” amat menghargai “innamal mu’minîna ikhwatun” (sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara – Al Hujurat 10); maka kehormatan yang paling mengundang rahmat, baik bagi alumni haji ataupun kepada sesama ikhwan Muslim adalah panggilan “akhi” (saudaraku), terasa lebih hangat tanpa sekat-sekat pangkat dan predikat.