Selamat Datang Diblog Andi Riyanto * jadikan hidupmu bermanfaat bagi orang yang kamu sayangi * ingatlah kelemahanmu itu adalah kelebihanmu * masalah itu timbul dari pikiran kita *

Kamis, 28 April 2011

Psikologi DAkwah

TRADISI PENDIDIKAN
ISLAM DI TENGAH PERUBAHAN SOSIAL
DALAM PERSPEKTIF MUHAMMDIYAH

Disusun Guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Psikologi dakwah
Dosen Pengampu : Kholilurohman M.Si
Disusun Oleh :
Andi Riyanto 26.08.1.1.002

JURUSAN DAKWAH DAN KOMUNIKASI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SURAKARTA
2010

A. Latar Belakang


1. Kelahiran muhammadiyah.

Muhammadiyah didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H yang bertepatan pada tanggal 18 nopember 1912 M.

Dengan pendirinya KH. Ahmad Dahlan yang mempunyai nama kecil Muhammad Darwis, yang lahir pada tahun 1285H bertepatan pada tahun 1868 M di Kauman Yogyakarta, ayahnya bernama KH. Abu Bakar yang semasa hidupnya bekerja sebagai khotib masjid besar kesultanan Yogyakarta.

Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”

Penetapan berdirinya muhammadiya pada tanggal 8 Dzulhijjah mengandungn pengertian yang dalam, sebab tanggal 8, 9, 10 Dzulhijjah umat islam menunaikan ibadah haji di tanah suci.

Tanggal 8 Dhulhijjah umat islam umat islam dari penjuru dunia memulai ibadah haji denganmelepas pakaian kebesaran serta melepas tanda pangkat dengan menggantinya dengan pakaian ihram, sehingga tidak ada lagi perbedaan. Semuanya hanya hamba Alloh untuk taat mengabdi kepada Nya dengan kedudukan yang sama.

Tanggal 9 Dhulhijjah, semua yang haji harus wukuf di Arofah, untuk mendekatkan diri kepada Alloh.

Tanggal 10 Dzulhijjah, semua yang berhaji melakukan penyembelihan qurban di Mina.

Dari 3 peristiwa diatas, yang mendasari KH. A. Dahlan supaya warga Muhammadiyah memiliki 3 hal tersebut, yakni: persamaan hak, taqorrub ilallh (mendekatkan diri kepada Alloh), dan berqurban dengan ikhlas tanpa mengenal pamrih.

2. Sebab-sebab berdirinya muhammadiyah.

Sebab-sebab berdirinya muhammadiyah dikelompokan sebagai berikut :

Ø Sebab intern.

a. Lemahnya aqidah umat islam, yaitu pengaruh syirik, bid’ah khufarat dan tahayul yang telah masuk pada orang islam yang merusak dan melemahkan aqidah.

b. Adanya kebekuan berfikir, malas belajar, sehingga banyak orang bodoh dan senang taqlid, meniru orang lain tanpa ilmu pengetahuan, tidak semangat menggali nilai-nilai Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai pedoman umat islam, sehingga orang islam tidak semangat atau tidak bergairah beragama, nama islam menurun, tidak berbobot lagi.

c. Mundurnya pendidikan islam, pendidikan islam sangat terbatas, dilakukan dipondok-pondok, masjid dan surau dilaksanakan dengan sederhana, belum dapat menyentuh secara dalam.

d. Umat islam masih dalamkeadaan miskin dan kemiskinan itu mendekati kekufuran dari berbagai kelemahan umat islam pada waktu itu.

Ø Sebab-sebab ekstern.

a. timbulnya gerakan Kebangkitan Nasional seperti Budi Utomo dan serikat Islam.

b. Timbulnya Gerakan pembaharuan diluar negeri seperti Gerakan Wahabi, Gerakan Ibnu Taimiyah Jamaludin Al Afgani, Muhammad Abduh, dan lain-lain.

c. Adanya kegiatan Nasranisasi, oleh agama Kristen dan Katholik yang sangat membahayakan islam.


B. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah-masalah tersebut bisa kita ambil rumusan masalah antara lain:

a. Cara muhammadiyah dalam memerangi kebodohan yang secara tidak langgsung mencegah proses Nasranisasi pada masa tersebut.

b. Ekistensi organisasi muhammadiyah dalam perkembangan pendidikan sampai saat ini.


C. Batasan Masalah


Sistem muhammadiyah dalam memerangi kebodohan serta Eksistensi pendidikan muhammadiyan sampai saat ini.


D. Pembahasan


1. muhammadiyah dalam memerangi kebodohan pada masa tersebut.

Untuk mengetahui cara usaha muhammadiyah, dalam memerangi kebodohan pada masa tersebut, bisa dilihat dari sejarah berdirinya muhammadiyah atau pendidikan di muhammadiyah.

Yang diawali dari perjumpaan KH. A. Dahlan Tahun 1909 bertemu dengan Dr. Wahidin Sudirohusodo di Ketandan, Yogyakarta. Ia menanyakan berbagai hal tentang perkumpulan Budi Utomo dan tujuannya. Setelah mendengarkan penjelasan darinya, ia ingin bergabung dengan organisasi tersebut. Ia mulai belajar berorganisasi. Pada tahun 1910, ia pun menjadi anggota ke-770 perkumpulan Jami’at Khair Jakarta. Ia tertarik kepada organisasi ini karena organisasi ini telah lebih awal membangun sekolah-sekolah agama dan bahasa Arab, disamping bergerak dalam bidang sosial dan giat membina hubungan dengan pemimpin-pemimpin di negara-negara Islam yang telah maju. Dari pengalamannnya yang ia dapatkan, ia menyadari bahwa usaha perbaikan masyarakat itu tidak mudah jika dilaksanakan sendirian, melainkan dengan berorganisasi bekerja sama dengan banyak orang.

Suatu ketia Ia menyampaikan usaha pendidikan setalah selesai menyampaikan santapan rohani pada rapat pengurus Budi Utomo cabang Yogyakarta. Ia menyampaikan keinginan mengajarkan agama Islam kepada para siswa Kweekschool Gubernamen Jetis yang dikepalai oleh R. Boedihardjo, yang juga pengurus Budi Utomo. Usul itu disetujui, dengan syarat di luar pelajaran resmi. Lama-lama peminatnya banyak, hingga kemudian mendirikan sekolah sendiri. Di antara para siswa Kweekschool Jetis ada yang memperhatikan susunan bangku, meja, dan papan tulis. Lalu, mereka menanyakan untuk apa, dijawab untuk sekolah anak-anak Kauman dengan pelajaran agama Islam dan pengetahuan sekolah biasa. Mereka tertarik sekali, dan akhirnya menyarankan agar penyelelenggaraan ditangani oleh suatu organisasi agar berkelanjutan sepeninggal K.H. Ahmad Dahlan kelak.

Sebenarnya, mengenai pendirian sekolah itu telah dibicarakan dan dibantu oleh pengurus Budi Utomo. Setelah pelaksanaan penyelenggaraan sekolah itu sudah mulai teratur, kemudian dipikirkan tentang organisasi pendukung terselenggaranya kegiatan sekolah itu. Dipilihlah nama "Muhammadiyah" sebagai nama organisasi itu dengan harapan agar para anggotanya dapat hidup beragama dan bermasyarakat sesuai dengan pribadi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penyusunan anggaran dasar Muhamadiyah banyak mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu Kweekschool Jetis. Rumusannya dibuat dalam bahasa melayu dan Belanda. Kesepakatan bulat pendirian Muhamadiyah terjadi pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijjah 1330 H. Tgl 20 Desember 1912 diajukanlah surat permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, agar perserikatan ini diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum. Setelah memakan waktu sekitar 20 bulan, akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengakui Muhammadiyah sebagai badan hukum, tertung dalam Gouvernement Besluit tanggal 22 Agustus 1914, No. 81, beserta alamporan statuennya.


2. Ekistensi organisasi muhammadiyah dalam perkembangan pendidikan sampai saat ini.

Dalam diskusi di universitas muhammadiyah surakarya pada tanggal 17 Juli 2009, Lembaga pendidikan Muhammadiyah yang merata menjangkau hampir seluruh wilayah negeri ini, keadaannya bervariasi, sesuai dengan tingkat kekuatan organisasi di masing-masing daerah atau wilayah. Pendidikan Muhammadiyah yang tumbuh dari bawah, menjadikan keadaannya sangat beragam. Di daerah atau wilayah tertentu yang memiliki kepemimpinan yang kuat, maka lembaga pendidikannya berkembang dengan baik. Sebaliknya, di daerah atau wilayah lainnya, yang kebetulan tidak didukung oleh kepemimpinan yang kuat, maka lembaga pendidikan Muhammadiyah berjalan apa adanya. Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah Pusat periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana "Robohnya Sekolah Muhammadiyah" untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan mutu sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan Muhammadiyah juga muncul berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam dalam perilaku warga sekolah, belum berhasil menekan ongkos pendidikan sampai ke batas termurah, belum sanggup menciptakan kultur islami yang representatif, telah kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan kelompok penekan. Berbagai kritik tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan kurikulum, peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana. Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya orientasi filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern dan islami. Karena adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa atau suatu umat disebabkan tidak terutama oleh keterbelakangan infrastruktur yang mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep yang mendasarinya.

Nilai dan semangat mengabdi, berjuang, dan berkorban Kepada kader-kadernya, yang dikembangkan di lembaga pendidikan Muhammadiyah, ternyata sebagiannya berhasil ditransfer pada peserta didik Muhammadiyah. Mirip dengan pendidikan pesantren, pendidikan Muhammadiyah juga mampu melahirkan jiwa entrepeneourship bagi para lulusannya. Mereka dengan semangat berwirausaha, berani mengembangkan usaha-usaha ekonomi, termasuk juga bergerak mengembangkan lembaga pendidikan Muhammadiyah di tempat asal kelahirannya. Semangat berdakwah, lahir melalui lembaga pendidikan Muhammadiyah. Bandingkan dengan lulusan lembaga pendidikan pada umumnya, setelah lulus mencari kerja untuk kepentingan diri dan keluarganya. Sebaliknya, lulusan lembaga pendidikan Muhammadiyah, sekalipun tidak semuanya, berhasil menumbuhkan semangat berdakwah dan berjuang membangun masyarakat melalui organisasi Muhammadiyah atau lainnya. Dalam muhammadiyah menggunakan system Pendidikan Islam yang bercorak integralistik adalah suatu sistem pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara sebegitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam. Meski ide ini telah klasik namun tetap menarik perhatian, sebab merealisasikan ke tataran praksis selalu tidak mudah. Setelah pembaharuan pendidikan berlangsung hampir satu abad dualitas pendidikan Islam (juga Muhammadiyah) masih tampak menonjol. Suatu dualitas budaya muncul di mana-mana di dunia Muslim, suatu dualitas dalam masyarakat yang berasal dari sistem pendidikan ganda; sistem pendidikan Islam tradisional, dan sistem pendidikan sekuler modern melahirkan tokoh-tokoh sekuler. Dengan demikian, proses pencarian sistem pendidikan integralistik harus dilakukan secara terus-menerus sebangun dengan akselerasi perubahan sosial dan temuan-temuan inovatif pendidikan. Di Muhammadiyah, langkah ke arah itu masih terus berlangsung yaitu dengan membangun sekolah-sekolah alternatif atau kemudian dikenal dengan sekolah unggulan.

Kecuali itu, hal yang masih perlu dikembangkan di lingkungan pendidikan Muhammadiyah adalah terkait dengan bangunan keilmuan (body of knowledge) yang belum sepenuhnya sesuai dengan jargon besar yang dikembangkan oleh organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini selalu menyerukan ”kembali kepada al-Qur’an dan as-sunnah Nabi Saw.” Saya berpandangan, alangkah indahnya jika Muhammadiyah berhasil merumuskan secara utuh dan komprehensif, pendidikan yang benar-benar diwarnai oleh pesan-pesan Kitab Suci dan Tradisi Rasulullah itu. Saya melihat bahwa isi pendidikan di lembaga pendidikan Muhammadiyah masih terkesan adanya pembagian ilmu secara dikotomik, yaitu adanya ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Muhammadiyah juga sebagaimana organisasi Islam lainnya, masih memahami Islam sebatas sebagai "agama", dan belum memandang Islam sebagai agama sekaligus juga peradaban. Terlihat di sana, misalnya, ada pemisahan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu agama plus Ke-Muhammadiyahan. Dari gambaran struktur keilmuan seperti itu, seolah-olah al-Qur’an hanya dipahami sebatas kitab pedoman melakukan kegiatan ritual dan spiritual, yang meliputi bidang-bidang aqidah, fiqh, akhlak, sejarah dan bahasa Arab, sebagaimana hal ini dapat dilihat pada lembaga-lembaga pendidikan Islam pada umumnya. Jika saja jargon besar itu berhasil dirumuskan secara integral dan komprehensif dalam konteks bangunan keilmuan yang utuh, dengan memadukan ilmu umum dan ilmu agama, sebagaimana petunjuk al Qur’an dan hadis, maka ini akan menjadi ciri khas dan sekaligus keunggulan pendidikan Muhammadiyah. Dan, kegagalan di bidang ini menyebabkan masyarakat di luar Muhammadiyah menganggapnya sebagai titik lemahnya.

Sekadar bahan perbandingan dan sekaligus pertimbangan, bagaimana memulai pengembangan bangunan keilmuan di lembaga pendidikan Islam, seperti Muhammadiyah, ini saya telah mengembangkan apa yang disebut dengan integrasi Islam dan sains di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Model integrasi ini tentu harus diterjemahkan secara utuh dan komprehensif ke dalam seluruh struktur institusi yang ada, dengan pertama-tama, misalnya, mengembangkan keterpaduan pendidikan tinggi dengan tradisi pesantren, di mana yang unsur yang pertama tumbuh dan berkembang di atas basis kultural persantren. Selanjutnya adalah pengembangan bilingual system, yakni pengembangan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, di mana Bahasa Arab diperlukan untuk memahami sumber ajaran Islam, yaini al-Qur’an dan al-Hadis, sementara Bahasa Inggris sebagai alat mengeksplorasi sains. Di UIN Malang, penguatan bilingual tersebut dikembangkan melalui program-program unggulan, yakni Program Khusus Pembelajaran Bahasa Arab (PKPBA), dan Program Khusus Pembelajaran Bahasa Inggris (PKPBI). Setelah itu disusul dengan apa yang disebut dengan arkân al-jâmi'ah (tiang penyangga perguruan tinggi), yaitu dosen, mahasiswa, laboratorium, perpustakaan, ruang perkuliahan, perkantoran, masjid, ma'had, pendanaan, dan manajemen. Tentu semua komponen fundamental ini telah dijabarkan ke dalam seluruh aspek penyelenggaraan pendidikan dan kurikulum pendidikan tingggi secara utuh, praktis, dan implementatif, untuk melahirkan karakter generasi yang unggul di masa mendatang.

Selanjutnya, Muhammadiyah yang senantiasa mencitrakan diri sebagai organisasi pembaharu, senantiasa melakukan inovasi-inovasi, maka selalu ditunggu-tunggu konsep dan implementasi pembaharuannya di bidang pendidikan. Pembaharuan bidang pendidikan oleh Muhammadiyah seharusnya tidak boleh berhenti. Masyarakat dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan, dan oleh karena itu pula selalu menuntut pembaharuan. Lembaga pendidikan Muhammadiyah pada gilirannya diposisikan dan dipfungsikan sebagai kekuatan pembaharu, the agent of change, tidak boleh hanya sebatas memosisikan diri sebagai pewaris sejarah lama, apalagi membanggakannya. Bahkan bentuk-bentuk pembaharuan yang dulu pernah dijalankan, pada saat ini perlu diperbaharui ulang sejalan dengan tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Muhammadiyah harus berani mengeluarkan kekuatan ampuh dan strategisnya, yaitu melakukan ijtihad besar dalam membangun lembaga pendidikan, yang diperlukan oleh bangsa dan umat manusia. Selain minimnya konsep pembaharuan, atau bahkan redupnya semangat ijtihad di kalangan generasi muda, ternyata akhir-akhir ini juga Muhammadiyah terbawa oleh arus dinamika yang bersifat teknis. Misalnya, Muhammadiyah ikut disibukkan oleh perbincangan ujian nasional, sekolah kejuruan, dan perubahan-perubahan lain yang kurang mendasar, bahkan sangat insidental. Menurutt hemat saya, Muhammadiyah harus selalu memosisikan diri sebagai pencetus dan pengusung ide pembaharuan itu, dan bukannya malah sebagai penumpang pembaharuan. Tekad dan peran sebagai pembaharu, sebagaimana misi awal kelahirannya, pada saat sekarang mestinya sangat dimungkinkan untuk dilakukan, mengingat akhir-akhir ini sumber daya manusia yang dimiliki Muhammadiyah semakin banyak dan berkualitas.

Sekali lagi, melewati usianya yang sekian panjang, Muhammadiyah dengan berbagai perguruan tingginya, sudah semestinya telah melakukan reorientasi serta pengembangan sistem pendidikan, dari sebatas memberikan pelayanan pendidikan, kepada kegiatan-kegiatan yang memungkinkan dilahirkannya pemikiran-pemikiran baru, para pembaharu, dan para penggerak pembaharuan, baik menyangkut keislaman, ilmu, dan peradaban. Muhammadiyah tidak lagi hanya sebatas sebagai lembaga pendidikan komplementer sebagaimana yang diselenggarakan oleh pemerintah. Tetapi, lembaga pendidikan Muhammadiyah diangankan mampu memberikan nilai tambah dan lebih di tengah-tengah desakan perubahan global, seperti tuntutan sekolah berbasis isternasional (SBI), pendidikan yang mampu menciptakan lulusan profesional dan skilled, dan pendidikan yang mampu mengakses dimensi-dimensi global dengan tanpa menyingkirkan dimensi kearifan lokal yang ada. Karena itu, di tengah pengapnya sistem dan lembaga pendidikan Islam di Indonesia, yang kebanyakan adalah swasta dan senantiasa menuai kritik, maka Muhammadiyah harus berani tampil ke permukaan dengan senantiasa mengibarkan lagi-lagi semangat pembaruan dan modernisasi dalam arti yang sesungguhnya.

Arti pentingnya doktrin Muhammadiyah, yaitu pencerahan umat (selain itu adalah tauhid, mengembirakan amal shalih, kerjasama untuk kebajikan, dan tidak berpolitik praktis [H.M. Amien Rais dalam Nurhadi M. Musawir, 1996: 1-8]). Doktrin pencerahan umat ini tentu hanya bisa dimulai dengan mengembangkan lembaga pendidikan. Karena itu, para tokoh Muhammadiyah pendahulu, demikian Amien Rais, tidak pernah bosan mengingatkan masyarakat Islam Indonesia bahwa ilmu pengetahuan adalah barang yang hilang dari kaum muslimin yang harus direbut kembali. Tidak salah bila di awal pertumbuhannya, Muhammadiyah tidak membangun kongsi-kongsi dagang, tetapi membangun sekolah sebanyak mungkin. Logikanya jelas bahwa kebodohan telah menjerat umat Islam ke dalam ketertinggalan, keterbelakangan, kemiskinan, dan hilangnya daya saing. Atau, meminjam istilah Muhammad Abduh, bahwa umat Islam mahjûb bi nafsihî (tertutup/terbelakang karena dirinya sendiri) dan karena itu, untuk menginstal kembali peran strategis umat Islam haruslah dimulai dengan menghidupkan lembaga-lembaga pendidikan dengan misi utama pencerahan umat.

Doktrin pencerahan umat melalui pengembangan lembaga pendidikan bagi Muhammadiyah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Semangat doktrin ini akan menggelegak manakala kita mau membaca kisah nyata dalam novel Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata (2008), di mana SDI Muhammadiyah Belitoeng yang dilihat sebelah mata oleh masyarakat kala itu. Artinya, melalui pembacaan itu kita (warga Muhammadiyah) diajak untuk mengintrodusir kembali pencerahan dan sekaligus penyelamatan umat Islam melalui sistem dan lembaga pendidikan dengan mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah yang lebih berwibawa, bergengsi, dan tentu tidak lepas dari akar-akar keislaman/kemuham-madiyahan yang telah dibangun oleh para pendahulu.

Untuk mengejawantahkan doktrin mulia tadi, kiranya semangat amal shaleh yang akrab dikenal dengan semboyan amar ma'ruf nahi mungkar (menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar), sebagaimana terpatri pada pribadi Pak K.A. Harfan Effendy Noor bin K.A. Fadillah Zein Noor (dikenal Pak Harfan) dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid (dikenal Bu Mus) dalam novel itu, kiranya harus menjadi sumber dinamika dan kreativitas. Semboyan itu harus senantiasa menjadi semangat yang built-in dalam perjuangan Muhammadiyah.

Selain itu, peran Muhammadiyah yang sedemikian besar dalam pendidikan, seharusnya pemerintah berani memosisikan lembaga pendidikan yang dikelola oleh organisasi ini sebagai mitra pemerintah, bukan sebagai pesaing, baik secara konseptual maupun operasional dalam memberikan pelayanan pendidikan pada masyarakat di negeri ini. Sebagaimana mitra, pemerintah dituntut memberikan otonomi sekaligus memfasilitasi segala kebutuhan yang belum berhasil dipenuhi oleh Muhammadiyah.



E. Daftar Pustaka

Ø Sukidi, Ahmad, Sag, kemuhammadiyahan. majelis pandidikan dasar dan menengah pimpinan daerah muhammadiyah, solo, 2008.

Ø Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah. kemuhammadiyahan. majelis pandidikan dasar dan menengah pimpinan daerah muhammadiyah, Surakarta, 1994.

Ø Mohamad Ali dan Marpuji Ali, Dosen Al Islam & kemuhammadiyahan UMS, filsafat pendidikan muhammadiyah ditinjau dari segi histories dan praktis.

Ø bahan diskusi di Univ.Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 17 Juli 2009 (http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1055:beberapa-catatan-tentang-pendidikan-muhammadiyah&catid=25:artikel-rekto)

Kataku

ketika kita tidak mencoba, maka kita tidak akan mengalami kesalahan, sehingga apa yang disebut keberhasilan juga kita tidak akan mengetahuinya. Sesuatu yang baru itu lebih membuat kita tertantang, sehingga kita dapat menabung dalam bank pikiran kita, sehingga kita dapat mengambilnya suatu nanti apabila kita membutuhkanya.
Andi Riyanto
Template by : kendhin x-template.blogspot.com