Masalah dan problem yang berkembang ditanah air menurut mantan ketua DPR/MPR Harmoko, di kolom Surat Kabar Pos Kota 2 Juni 2008 memberi refleksi pada ”tiga krisis”. Yakni krisis kelembagaan, krisis kepemimpinan, serta krisis kepercayaan. Krisis tersebut memberikan sumbangan tentang rawannya akan ketahanan nasional.
Dari berbagai macam ketahanan nasional yang
paling rawan ada pada ketahanan politik, karena sering mengganggu stabilitas nasional.
Dampak perkara ini sangat besar, karena dapat mengganggu pada pelaksanaan dan
sistem demokrasi di bumi pertiwi.
Permasalahan yang ditimbulkan tersebut seakan
menjadi “bumbu penikmat” pada pelaksanaan demokrasi yang sering dialami oleh
negara ini. dampak tersebut adalah komflik pemilu yang berkelanjutan, mulai
dari konflik daerah seperti yang terjadi di konflik Palopo Sulawesi Selatan,
sampai konflik pilkada Jawa Barat.
Bahkan komflik ini bukan hanya terjadi
di Indonesia saja. Banyak negara di dunia mengalami hal yang sama, misalnya
yang dialami oleh Ukraina yang di beritakan liputan6.com (25/5) dan pemilu
presiden di Suriah yang dikabarkan oleh portalKBR.com (03/6).
Maka komflik politik ini jika selalu
dibicarakan akan semakin menarik, bahkan akan memberi refrensi kedepannya.
Supaya bisa menanggulangi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi nantinya.
Beralih kepada suasana pelaksanaan
demokrasi tahun ini, ada hal yang menarik yang bisa dicermati. Pemilu tahun ini
hanya diikuti dua kandidat presiden yang memungkinkan berlangsung satu putaran,
banyaknya deklarasi ormas pendukung serta kentalnya black campaign. Ini
seakan pemilu menyimpan “Bom Waktu” yang siap meledak pada tanggal 9 Juli
mendatang.
Pilpres kali ini mirip perang dingin antara
dua negara adi kuasa, yakni blok barat pimpinan Amerika (beserta sekutunya) dan
blok timur Uni Soviet (beserta sekutunya) pada tahun 1947-1991. Yang keduanya
unjuk kekuatan di bidang koalisi militer, ideologi, psikologi, persenjataan dan
masih banyak lagi.
Bedanya pada pemilu kali ini pada unjuk
kekuatan tersebut terjadi pada koalisi partai dan banyaknya organisasi yang
berdeklarasi untuk mendukung para calon. Berapa banyak dukungan yang diberikan
untuk kedua calon presiden ini?
Kompas (06/06) mencatat
sudah 348 ormas dari berbagai kalangan yang berdeklarasikan dukungannya
terhadap Prabowo. Bahkan media online beritahukum.com (26/6) memcatat
perkembangan tiap hari dengan rata-rata 20 sampai 25 deklarasi, dengan total
per 26 juni sebanyak 750 organisasi siap memenangkan calon nomor urut satu
tersebut.
Sedangkan dipihak capres Jokowi juga di
dukung dari berbagai element masyarakat. Misalnya yang dicatat solopos
(25/5) dukungan alumni SMA N 6 Solo angkatan 1980 sampai 2013 untuk Jokowi, kompas.com
(10/6) memberitakan puluhan ribu petani Priangan timur dukung Jokowi, sampai
yang dicatat merdeka.com (40/6) 40 organisasi kepemudaan Nasional, dan
masih banyak lagi yang mendukung pasangan no urut dua tersebut.
Bahkan “adu kekuatan” ini semakin panas
ketika kedua belah pihak juga didukung para Purnawirawan TNI. Apakah semua ini
mempunyai hasil yang positif untuk para calon?
solopos.com
(26/6) menjawab pertanyaan tersebut dengan memberitakan survei dari Lembaga
Ilmu Politik Indonesia (LIPI). Dalam hasil survei tersebut tercatat pasangan
Jokowi-Jk mendapatkan 40% sedangkan Prabowo-Hatta mendapatkan 34%. Yang belum
menentukan suara sebanyak 23%.
Hasil ini tentunya tidak lepas dari
kerjasama antara para calon dengan tim suksesnya yang berhasil membentuk opini
masyarakan akan keunggulan masing-masing calon. Sehingga banyak kelompok yang
menjadi fanatis akan calon yang nantinya meneruskan tampuk kepemimpinan SBY.
Bom Waktu
Berbicara mengenai sifat fanatis ini, kita
bukan membicarakan sikap yang sering dikoar-koarkan sebagai sifat orang Islam
yang menginginkan tegaknya syariat Islam. Tetapi lebih kepada fanatik yang
memiliki makna sebenarnya yakni teramat kuat kepercayaan (keyakinan) terhadap
suatu ajaran.
Suatu artikel di psikoterapis.com,
sikap fanatik ini bisa muncul dalam diri seseorang, dan sifat ini secara
psikologi cenderung kurang memperhatikan kesadaran sehingga seringkali
perilakunya kurang terkontrol dan tidak rasional. Fanatisme juga dipandang
sebagai penyebab menguatnya perilaku kelompok yang tidak jarang dapat
menimbulkan perilaku agresi.
Apakah sifat ini bisa menjadi “bom
waktu” yang siap meledak pada saat pilpres 9 juli nanti? dan apakah
penyebabnya?
“Bom” yang berdaya ledak kecil sudah
terjadi di Yogyakarta, antara pendukung kedua belah pihak. Ini terjadi karena
keduanya saling bertemu, dan perbedaan baju merekalah yang membuat kedua
pendukung terjadi perkelahian.
Perkawinan antara egois dan fanatik ini
yang membuat tidak jernih dalam berfikir. Merasa calon yang diusungnya yang
paling benar dan paling pantas untuk memimpin keduanya.
Dari panasnya persaingan inilah dimungkinkan
akan terjadi ledakan “Bom Waktu” pada tanggal 9 Juli yang berskala nasional? Dan
kenapa bisa begitu?
Sejak diumumkannya Jokowi-JK dan
Prabowo-Hatta sebagi calon presiden, banyak isu-isu yang menyudutkan keduanya.
Seakan-akan masyarakat sudah terkontaminasi virus black campaign,
sehingga banyak yang saling mencaci contoh gampangnya seperti perang argumen
dan cacian di sosial media.
Apalagi ditambahnya saling adu kekuatan
tadi, yang ditonjolkannya pendukungan organisasi-organisasi secara terbuka.
Deklarasi ini seakan membentuk suatu kumpulan dari banyak organisasi yang siap
untuk unjuk kekuatan pada 9 juli nanti dan siap “meledakkan” amunisinya.
Apa Penyebab konflik konflik tersebut?
Menurut wasekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Girindra Sandino, ada
tiga hal yang menjadi perhatian pertama indikasi kecurangan, Kedua
ketidak puasan akan hasil pemilu yang tidak sesuai target, dan terakhir
kurangnya responsif dari aparatur keamanan.
Jadi kemungkinan terjadi konflik
tersebut sangat nyata, apalagi sekarang ini banyak organisasi yang secara
terang-terangan mendeklarasikan keterpihakan mereka, pastinya pengawasan akan
lebih rumit jika tidak ada kontrol langsung dari tim pemenangan masing-masing
calon.
Kontrol untuk organisasi yang telah
bergabung itu penting, disamping meneruskan kampanye damai yang telah di
sepakati kedua calon pada tanggal 3 juni silam juga sebagai “obat” konflik di
Yogyakarta tidak menjadi konflik yang menyeluruh di nusantara. Proses demokrasi
harus berjalan dengan lancar demi menciptakan indonesia yang lebih baik.
Catatan: 30/06/2014