Selamat Datang Diblog Andi Riyanto * jadikan hidupmu bermanfaat bagi orang yang kamu sayangi * ingatlah kelemahanmu itu adalah kelebihanmu * masalah itu timbul dari pikiran kita *

Jumat, 18 Juli 2014

"Sengkuni" Tebar Isu, Bung Karno Angkat Bicara

Puncak pesta demokrasi di nusantara makin dekat, 9 Juli menjadi penentu terpilihnya pemimpin yang akan memimpin NKRI Lima tahun kedepan. Menentukan langkah perkembangan negara yang ber-ideologikan pancasila ini menjadi lebih baik atau justru makin tenggelam dalam arus global yang sangat sulit. 
Hiruk-pikuk kemeriahan demokrasi tidak kalah dengan kemeriahan Piala Dunia yang sedang terlaksana di Brazil. Bedanya saat piala dunia permainan bola bisa langsung di nikmati kecantikan permainannya, sedangkan pesta demokrasi kita diwarnai tebaran isu yang mengundang perpecahan dikalangan masyarakat.

Betapa tidak, isu negatif yang berkembang dalam pesta demokrasi bermuatan saling menjegal para calon pemimpin bangsa, dari isu SARA untuk Jokowi sampai isu pemecatan Prabowo dalam dunia militer, seakan bendera fairplay demokrasi masih belum berkibar di Bumi pertiwi ini.
Seakan permasalahan rumor yang berkembang, lebih besar untuk menjatuhkan dari pada pencarian dukungan positif dari masyarakat, dan semakin hari makin kental. Apalagi pemilihan ini hanya di ikuti dua calon presiden yang hanya berlangsung satu putaran, sehingga isu-isu yang muncul lebih jelas dan pasti siapa yang dituju.
Perselisihan ini diperkuat saling sindir antara kedua calon presiden serta pendukungnya. Jokowi saat memberi sambutan pada Rapat kerja Nasional II (Rakernas II) partai NasDem, menyindir lawannya hanya sebagai follower dalam hal berbusana kampanye. Selain itu di hari yang sama Prabowo juga berpidato didepan para Guru, Guru besar serta cendikiawan di Jakarta mengenai sebuah partai yang tidak suka membaca, dan menyebut PKS sebagai partai yang dipenuhi orang-orang cerdas.
Selain itu, hal yang sama dilakukan oleh para pendukung masing-masing calon. Seperti perihal masalah surat pemberhentian Prabowo dari ABRI ditanggapi oleh mantan Panglima ABRI Wiranto, karena telah terbukti terlibat penculikan aktivis tahun 1998 silam. Tetapi beda halnya dengan (purn) Letjen Suryo Prabowo, terkait surat Dewan Kehornatan Perwira (DKP) yang cacat hukum karena perwira yang bersangkutan tidak terlebih dahulu diadili di pengadilan militer sesuai SK bernomor 838/III/1995 dan hanya sebagai alat politik supaya Wiranto bebas dari jeratan hukum.
Masyarakatpun seakan termakan isu negatif yang belum tentu kebenarannya. Masyarakatpun banyak yang ribut sendiri, dari ribut di hajatan, tempat gotong royong ataupun di media sosial. Yang menegaskan runtuhnya keharmonisan masyarakat kita, serta melanggar UU Nomor 8 tahun 2012 tentang pemilu yang garis besarnya menghina seseorang, agama, suku, ras dsb dari parpol lainnya.
Seperti yang di beritakan www.merdeka.com para pendukung calon presiden saling ejek hingga nyaris bentrok, kejadian ini bertempat di bundaran Hotel Indonesia saat Car Free Day 25 Mei silam.
Seperti yang dikatakan mantan menteri pemberdayaan perempuan dan kepala BKKBN era Gus Dur, Khofifah Indar Parawansa yang dikutip dari www.rumahwarta.com, jangan hanya karena pilpres, tatanan masyarakat yang baik itu menjadi rusak.
Sebetulnya hal ini sering dialami masyarakat, seharusnya masyarakat lebih bisa mengambil hikmah dari pengalaman dimasa lalu. Bukan malah termakan isu negaif yang dibuat oleh para “sengkuni” (meminjam istilah dari bang Anas Urbaningrum) yang ingin merusak negara ini dari dalam.
Masyarakat Indonesia khususnya Jawa telah mengenal sosok Sengkuni, yakni tokoh antagonis dari cerita pewayangan. Sengkuni yang mempunyai nama asli Aryo Suman dengan keinginannya untuk menjadi patih di kerajaan Astina, sehingga mencoba membunuh patih Gondomono. Namun hal itu gagal sehingga Aryo Suman di hajar menjadi buruk rupa, sehingga mendapat julukan baru yakni Sengkuni.
Setelah menjadi patih Astina saat dipimpim oleh Prabu Duryudana, Sengkuni selalu memiliki siasat untuk mengadu Kurawa dengan Pandawa, sehingga tidak ada ketenangan dalam kerajaan Astina. Hal inilah yang harus menjadi perenungan masyarakat Indonesia.

Pesan Bung Karno
Dari pemasalahan yang terkait dengan pemulihan umum, Soekarno yang sebagi Proklamator kemerdekaan Indonesia telah mewanti-wanti segala hal negatif yang terjadi pada negara ini saat melakukan pemilihan umum.
Bung karno sebagi Presiden pertama pernah berkata, “Pemilihan umum jangan menjadi tempat pertempuran. Perjuangan kepartaian yang dapat memecah persatuan bangsa Indonesia.” Ini membuktikan bahwa pemilihan pemimpin sarat akan perpecahan atau pertempuran, apalagi fanatik yang berlebihan untuk salah satu partai sehingga menganggap yang lain salh atau buruk.
Selain itu, Bung Karno seakan sudah memprediksi perpecahan yang akan terjadi dengan berpesan, “Perjuanganku lebuh mudah karenammengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kalimat Bung Karno Ini seperti telah terjadi, disaat kita ingin mengangkan neneri ini menjadi lebih maju, tetapi didalamnya kita telah berperang yang di awali dengan isu-isu tersebut.
Prof. DR. Salman Harun dalam bukunya Mutiara Al-qur’an, memberi pendapatnya mengenai Islam sebagai agama mayoritas yang dipeluk masyarakat, objek sekaligus subjek pembangun bagsa adalah Islam, sehingga gagal dan berhasilnya pembangunan dinegeri ini sebagian besar ditangan umat islam.
Dalam kontek ini, sebagai bangsa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, masyarakat haruslah mengedepankan kepentingan bersama untuk mensukseskan tujuan dari kemerdekaan yang di proklamasikan 69 tahun silam. Bukan malah berkelahi dengan alasan pembangunan berdasarkan rumor ala “sengkuni” yang malah memperburuk keadaan bangsa.
Soekarno dalam pidato Hut RI tahun 1964, “firmah Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu: inna la yu ghoiyiruma bikaumin, hatta yu ghoiyiruma biamfusihim. Tuhan tidak merubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu akan merubah nasibnya.
Hal ini penegasan pandangan Soekarno dalam merubah nasib bangsa haruslah dimulai dari bangsa tersebut, yang mempunyai keinginan bersama menjadikan bangsa ini lebih maju dan bisa mensejahterakan rakyat didalamnya. Berdasarkan penggalan Surat ar-ra’du ayat 11 yang menjadi acuan Soekarno dalam merubah nasib suatu bangsa.
Sudah saatnya bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas, mengacuhkan kabar burung yang memecah dan mengedepankan proses demokrasi yang mempertimbangkan kredibilitas maupun kemampuan para calon untuk merealisasikan visi-misinya. Sehingga menghasilkan pemimpin dengan jiwa seperti Bung Karno dengan prinsipnya, “Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segala-galanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”
Selain itu tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa seperti yang ada di sila tiga Panca Sila, Persatuan Indonesia. Bhinika Tunggal Ika harus dijaga demi kedamaian di bumi pertiwi. Bukan menjadi ajang “perang” antara calom pemimpin, para purnawirawan ABRI dan masyarakat Indonesia.
Catatan: pada taggal 19/06/2014

Kataku

ketika kita tidak mencoba, maka kita tidak akan mengalami kesalahan, sehingga apa yang disebut keberhasilan juga kita tidak akan mengetahuinya. Sesuatu yang baru itu lebih membuat kita tertantang, sehingga kita dapat menabung dalam bank pikiran kita, sehingga kita dapat mengambilnya suatu nanti apabila kita membutuhkanya.
Andi Riyanto
Template by : kendhin x-template.blogspot.com