Puncak pesta demokrasi di nusantara makin dekat, 9 Juli menjadi penentu terpilihnya pemimpin yang akan memimpin NKRI Lima tahun kedepan. Menentukan langkah perkembangan negara yang ber-ideologikan pancasila ini menjadi lebih baik atau justru makin tenggelam dalam arus global yang sangat sulit.
Hiruk-pikuk kemeriahan demokrasi tidak kalah dengan kemeriahan Piala Dunia yang
sedang terlaksana di Brazil. Bedanya saat piala dunia permainan bola bisa
langsung di nikmati kecantikan permainannya, sedangkan pesta demokrasi kita
diwarnai tebaran isu yang mengundang perpecahan dikalangan masyarakat.
Betapa tidak, isu negatif yang berkembang dalam pesta demokrasi
bermuatan saling menjegal para calon pemimpin bangsa, dari isu SARA untuk
Jokowi sampai isu pemecatan Prabowo dalam dunia militer, seakan bendera fairplay
demokrasi masih belum berkibar di Bumi pertiwi ini.
Seakan permasalahan rumor yang berkembang, lebih besar untuk
menjatuhkan dari pada pencarian dukungan positif dari masyarakat, dan semakin
hari makin kental. Apalagi pemilihan ini hanya di ikuti dua calon presiden yang
hanya berlangsung satu putaran, sehingga isu-isu yang muncul lebih jelas dan
pasti siapa yang dituju.
Perselisihan ini diperkuat saling sindir antara kedua calon
presiden serta pendukungnya. Jokowi saat memberi sambutan pada Rapat kerja
Nasional II (Rakernas II) partai NasDem, menyindir lawannya hanya sebagai
follower dalam hal berbusana kampanye. Selain itu di hari yang sama Prabowo
juga berpidato didepan para Guru, Guru besar serta cendikiawan di Jakarta
mengenai sebuah partai yang tidak suka membaca, dan menyebut PKS sebagai partai
yang dipenuhi orang-orang cerdas.
Selain itu, hal yang sama dilakukan oleh para pendukung
masing-masing calon. Seperti perihal masalah surat pemberhentian Prabowo dari
ABRI ditanggapi oleh mantan Panglima ABRI Wiranto, karena telah terbukti
terlibat penculikan aktivis tahun 1998 silam. Tetapi beda halnya dengan (purn)
Letjen Suryo Prabowo, terkait surat Dewan Kehornatan Perwira (DKP) yang cacat
hukum karena perwira yang bersangkutan tidak terlebih dahulu diadili di
pengadilan militer sesuai SK bernomor 838/III/1995 dan hanya sebagai alat
politik supaya Wiranto bebas dari jeratan hukum.
Masyarakatpun seakan termakan isu negatif yang belum tentu
kebenarannya. Masyarakatpun banyak yang ribut sendiri, dari ribut di hajatan,
tempat gotong royong ataupun di media sosial. Yang menegaskan runtuhnya
keharmonisan masyarakat kita, serta melanggar UU Nomor 8 tahun 2012 tentang
pemilu yang garis besarnya menghina seseorang, agama, suku, ras dsb dari parpol
lainnya.
Seperti yang di beritakan www.merdeka.com
para pendukung calon presiden saling ejek hingga nyaris bentrok, kejadian ini
bertempat di bundaran Hotel Indonesia saat Car Free Day 25 Mei silam.
Seperti yang dikatakan mantan menteri pemberdayaan perempuan dan
kepala BKKBN era Gus Dur, Khofifah Indar Parawansa yang dikutip dari www.rumahwarta.com,
jangan hanya karena pilpres, tatanan masyarakat yang baik itu menjadi rusak.
Sebetulnya hal ini sering dialami masyarakat, seharusnya masyarakat
lebih bisa mengambil hikmah dari pengalaman dimasa lalu. Bukan malah termakan
isu negaif yang dibuat oleh para “sengkuni” (meminjam istilah dari bang Anas
Urbaningrum) yang ingin merusak negara ini dari dalam.
Masyarakat Indonesia khususnya Jawa telah mengenal sosok Sengkuni, yakni
tokoh antagonis dari cerita pewayangan. Sengkuni yang mempunyai nama asli Aryo
Suman dengan keinginannya untuk menjadi patih di kerajaan Astina, sehingga
mencoba membunuh patih Gondomono. Namun hal itu gagal sehingga Aryo Suman di
hajar menjadi buruk rupa, sehingga mendapat julukan baru yakni Sengkuni.
Setelah menjadi patih Astina saat dipimpim oleh Prabu Duryudana,
Sengkuni selalu memiliki siasat untuk mengadu Kurawa dengan Pandawa, sehingga
tidak ada ketenangan dalam kerajaan Astina. Hal inilah yang harus menjadi
perenungan masyarakat Indonesia.
Pesan Bung Karno
Dari pemasalahan yang terkait dengan pemulihan umum, Soekarno yang
sebagi Proklamator kemerdekaan Indonesia telah mewanti-wanti segala hal
negatif yang terjadi pada negara ini saat melakukan pemilihan umum.
Bung karno sebagi Presiden pertama pernah berkata, “Pemilihan umum
jangan menjadi tempat pertempuran. Perjuangan kepartaian yang dapat memecah
persatuan bangsa Indonesia.” Ini membuktikan bahwa pemilihan pemimpin sarat
akan perpecahan atau pertempuran, apalagi fanatik yang berlebihan untuk salah
satu partai sehingga menganggap yang lain salh atau buruk.
Selain itu, Bung Karno seakan sudah memprediksi perpecahan yang
akan terjadi dengan berpesan, “Perjuanganku lebuh mudah karenammengusir
penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kalimat
Bung Karno Ini seperti telah terjadi, disaat kita ingin mengangkan neneri ini
menjadi lebih maju, tetapi didalamnya kita telah berperang yang di awali dengan
isu-isu tersebut.
Prof. DR. Salman Harun dalam bukunya Mutiara Al-qur’an,
memberi pendapatnya mengenai Islam sebagai agama mayoritas yang dipeluk masyarakat,
objek sekaligus subjek pembangun bagsa adalah Islam, sehingga gagal dan
berhasilnya pembangunan dinegeri ini sebagian besar ditangan umat islam.
Dalam kontek ini, sebagai bangsa yang Berketuhanan Yang Maha Esa,
masyarakat haruslah mengedepankan kepentingan bersama untuk mensukseskan tujuan
dari kemerdekaan yang di proklamasikan 69 tahun silam. Bukan malah berkelahi
dengan alasan pembangunan berdasarkan rumor ala “sengkuni” yang malah
memperburuk keadaan bangsa.
Soekarno dalam pidato Hut RI tahun 1964, “firmah Tuhan inilah
gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu: inna la yu ghoiyiruma
bikaumin, hatta yu ghoiyiruma biamfusihim. Tuhan tidak merubah nasib suatu
bangsa sebelum bangsa itu akan merubah nasibnya.
Hal ini penegasan pandangan Soekarno dalam merubah nasib bangsa
haruslah dimulai dari bangsa tersebut, yang mempunyai keinginan bersama
menjadikan bangsa ini lebih maju dan bisa mensejahterakan rakyat didalamnya.
Berdasarkan penggalan Surat ar-ra’du ayat 11 yang menjadi acuan Soekarno
dalam merubah nasib suatu bangsa.
Sudah saatnya bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas, mengacuhkan
kabar burung yang memecah dan mengedepankan proses demokrasi yang mempertimbangkan
kredibilitas maupun kemampuan para calon untuk merealisasikan visi-misinya. Sehingga
menghasilkan pemimpin dengan jiwa seperti Bung Karno dengan prinsipnya,
“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan presiden sekalipun ada
batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas
segala-galanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”
Selain itu tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa
seperti yang ada di sila tiga Panca Sila, Persatuan Indonesia. Bhinika Tunggal
Ika harus dijaga demi kedamaian di bumi pertiwi. Bukan menjadi ajang “perang”
antara calom pemimpin, para purnawirawan ABRI dan masyarakat Indonesia.
Catatan: pada taggal 19/06/2014