Mendekati
tahun 2014 yang notabennya adalah tahun politik dinusantara, yang menjadi bukti
bahwa negara ini menganut demokrasi. Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) serta Presiden dan
Wakil Presiden semakin dekat, hal ini membuat baliho Calon Legislatif (CALEG)
serta bendera partai politik (PARPOL) bak jamur yang tumbuh dimusim hujan,
untuk menjadi alat untuk mensukseskan pemilu serta mensukseskan calek atau parpol
tertentu.
Semakin
mendekati pemilu, semakin pula golongan masyarakat yang muncul. Golongan masyarakat
yang menjdi perhatian yakni masyarakat yang notabennya “dipaksa” apatis, karena
sudah hilangnya rasa kepercayaan kepada wakilnya yang duduk di singgasana
pemegang kebijakan dinegeri ini yang banyak terjerat kasus korupsi.
Hal
tersebut terbukti dengan semakin bertambahnya angka GOLPUT (Gulongan Putih),
ditahun 2009 sebanyak 39.1%. Juga yang diberitakan Koran ini beberapa waktu
yang lalu mengenai warga Jogja yang tak peduli DPT (Daftar Pemilih Tetap)
sampai sepinya pendaftar sebagai Pionir Pemilu 2014.
Hal
ini menjadi perhatian khusus bagi Komisi Pemilihan Umum ((KPU) serta parpol sebagai
wadah para Caleg, sehingga harus memiliki strategi khusus untuk menumbuhkan
animo masyarakat seperti tahun 1999 silam yang angka pemili mencapai 93%.
Parpol
serta para calegpun semakin memilkirkan cara untuk membantu menumbuhkan rasa
nasionalisme masyarakat, dari penjaringan caleg yang super ketat, untuk
mencapai hasil maksimal, bahkan para caleg yang sudah lolos makin “Tebar
Pesona” kemasyarakan untuk memaparkan Visi dan Misinya.
Selain
menyampaikan Visi Misi yang menampung kemajuan masyarakat, para Caleg juga
mebuat MoU (Memorandum of Understanding) pada kelompok masyarakat misalnya membangun
jalan, gedung-gedung, bahkan mengisi uang kas Rukun Tangga (RT), yang semuanya diatas
namakan membantu masyarakat atas menangani problema yang terjadi, secara cepat.
Jika
menilik lebih dalam, masyarakat sebetulnya bukan hanya membutuhkan semua yang
dicontohkan diatas, tetapi kepada hal yang lebih nyata, misalnya pembangunan
ekomoni, pendidikan, kesehatan dsb. Kesemuanya adalah pembengunan kesejahteraan
masyarakat yang tak mungkin diwujudkan dalam tempo beberapa bulan sebelum
pemilu berlangsung.
Sehingga
banyak masyarakat yang terkecoh dengan strategi yang dibuat oleh para caleg,
yang seharusnya membuktikan Visi Misi kedepan bukan hanya “mengencingi” suatu
daerah dengan pembangunan yang sifatnya instan.
Mengingat
dana yang dibutuhkan untuk kampanye tidaklah sedikit, maka para calon pengambil
kebijakan juga haruslah memikirkan celengan yang harus digunakan, baik
itu dari kekayaan sendiri, donatur, bahkan juga memakai dana aspirasi bagi
caleg yang masih menjabat sebagai anggota dewan.
Seperti
yang dipaparkan bupati Sukoharjo yang diulas dalam koran ini, “semuanya baik
(anggota) Dewan (DPRD) ngotot untuk kepentingan politik. Bupati ini
jabatan politik, jadi sah saja (seperti iti). Tulis iti.”
Hal
ini haruslah menjadi bahan koreksi oleh masyarakat, walaupun hal tersebut
secara politik diperbolehkan.
Rusak
Anggaran
Mengenai
dana aspirasi yang dipakai untuk kepentingan politik tersebut bukanlah hal yang
baru, di Amerika serikat sekitar tahun 1994 sudah muncul dana aspirasi, yang
dalam prakteknya dana aspirasi tersebut diartikan sebagai dana publik yang
dialokasikan oleh Legislator untuk Konstituennya supaya terpilih pada pemilihan
selanjutnya.
Anggaran
ini sangatlah rawan, yakni bisa digunakan untuk kepentingan kampanye, yang
nantinya tidak akan dimintai pertanggung jawaban kepada KPU yang paling lambat
tiga hari paska pemilihan. Dikarenakan anggaran tersebut termasuk anggaran APBD
(Anggaran Pengeluaran Belanja Daerah).
Dari
keterangan Bupati Sukoharjo Wardoyo Wijaya, untuk saat ini sedang terjadi tarik
ulur mengenai dana asrasi untuk tahun 2014, walaupun untuk tahun 2013 setiap
anggota dewan Rp 500 juta, untuk rincian Rp300 juta untuk anggaran penetapan
dan Rp250 juta untuk anggaran perubahan.
Hal
tersebut semakin memperkuat buruknya penyelenggaraan keuangan yang menyangkut
APBD, dan disudut yang lain besarnya kepentingan politik untuk menghadapi
pemilu 2014, sehingga menyogrok anggaran tersebut.
Cerita
aspirasi ini menguak kepentingan politik dalam penyelenggaraan keuangan
pemerintah daerah, juga sebagai gambaran akan penyalahgunaan kekuasaan dalam
pengguanaan dana Aspirasi untuk kepentingan pembangunan infrastruktur daerah
yang sudah “dikencingi” sehingga pembangunan yang tidak merata.
Selain
membuktikan buruknya pengelolaan, hal tersebut juga akan membuat keadaan
masyarakat tidak lagi memegang falsafah “Bhineka Tunggal Ika”, menjadi masyarakat
hedonis, pragmatis dan kapitalis, yang menggadaikan hak pilih hanya untuk
kepentingan pribadi dan kelompok masyarakat tertentu tanpa memikirkan
perkembangan daerah lainnya.
Seperti
yang dipaparkan diatas, walaupun itu dalam sebagian elite politik
diperbolehkan, dan efektif menarik animo masyarakat, tetapi kasus tersebut merusak
nilai pembangunan yang didasarkan atas kewajiban seorang wakil rakyat sebagai
perpanjang tangan masyarakan untuk membangun kesejahteraan yang menyeluruh.
Dikarenakan
maksud dari dana aspirasi ini diperuntukkan atas dasar aspirasi masyarakat yang
disambut oleh wakil rakyat untuk mensejahterkan masyarakatnya (konstituennya),
maka tidaklah pantas jika dana ini turun karena ada maksud tertentu selain
mensejahterakan rakyat.
Kasus
ini jelas merugikan masyarakat selama satu peroide keanggotaan sebagai dewan,
dengan menggadaikan kebijakan diakhir jabatan.
Jika
dana tersebut kucur selama periode penjabatan bukan sedekar muncul waktu
mendekati pesta rakyat, maka akan terbangunnya kesejahteraan masyarakat secara
menyeluruh, juga akan lebih efektif dalam menumbuhkan rasa kepercayaan
masyarakat yang telah pudar.