Mimbar mahasiswa solopos Edisi 19
November 2013 mengulas tentang Surat Cinta Untuk Petinggi Kampus dari saudara
serumah yakni Musta’in Romli. Hal ini sangat mengguncang tataran petinggi Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, dengan kritikan pedas yang menguak
berbagai macam problema yang muncul sebelum serta saat acara temu ilmiah dan
bedah buku di Perpustakaan IAIN Surakarta.
Adapun
kesimpulan dari sebuah opini tersebut yakni, penghabisan sisa anggaran 2013 dengan
banyak agenda serta proyek-proyek dan mencari sensasi atas kritikan-kritikan
pedas sebelumnya. Selain itu juga berkaitan dengan ketidak sepakatan bahwa Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) harus memberi manfaat bagi kampus yang berupa piala
atau mendali emas.
Kalau
saya, bukan untuk membenarkan ataupun menyalahkan kritikan yang sifatnya membangun
serta memberi “tamparan” secara psikologis bagi yang terkait. Karena saya
mempunyai pendapat tersendiri menyikapi hal-hal yang menjadi persoalan oleh
semua mahasiswa tersebut.
Ketika
kita membahas masalah “anggaran”, kita akan dibenturkan dengan permasalahan
keuangan yang menggelembung ataukan keuangan yang sama dengan jumlah
pengeluaran yang ada. Selama ini, semua yang namanya “anggaran” tak lebih dari
suatu rencana yang dibesarkan untuk mengantisipasi lonjakan harga yang berbeda
dari suatu waktu. Dan pada akhir tahun anggaran tersebut ada sisa, akan
kemanakah sisa tersebut?
Permasalahan
ini mengingatkan saya akan seorang teman yakni Boris Hendra Saputra, Amd pada
saat interview di Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendapatkan
pertanyaan, “Jika pada keadaan tertentu terdapat kelangkaan barang dan kita
mempunyai barang tersebut dalam jumlah sedikit. Kalau mengeluarkan barang itu
akan masuk penjara, kalau mengeluarkan barang, pasti banyak kerusuhan. Apa
pilihan yang akan diambil?”
Hal
itu membuat susah untuk mengambil keputusan, disatu sisi kita dibenturkan
dengan penjara, disisi lain disudutkan oleh kekacauan yang akan ditimbulkan.
walaupun pilihan keputusan itu akan mengeluarkan barang walau penjara menanti,
karena memikirkan kepentingan orang banyak walau barang tersebut sedikit
julmahnya.
Sama
halnya yang dilakukan salah satu petinggi IAIN tersebut, jikalau tidak akan
menggunakan sisa anggaran tersebut akan hilang dikantong-kantong sistem
dan menimbulkan penuntutan transparansi yang diawali demonstrasi mahasiswa,
atau digunakan untuk kegiatan yang notabenya peningkatan keilmuan mahasiswa
dalam hal ini mahasiswa yang menggeluti dunia membaca dan penelitian.
Disamping
itu, David J. Schwartz melalui bukunya The Magic of Thinking Big
mengulas tentang keberhasilan dan kemampuan seorang pemimpin, yakni membuat
yang dipimpin mengerjakan hal-hal yang tidak akan mereka kerjakan seandainya
mereka tidak dipimpin olehnya, serta berjalan berdampingan.
Dalam
hal ini seorang petinggi kampus juga memperhatikan kegiatan-kegiatan yang
mendukung keilmuan mahasiswa yang selama ini jarang diadakan, yang notabennya
dibutuhkan oleh mahasiswa. Sehingga kegiatan yang notabennya dari evaluasi
serta kebutuhan mahasiswa tersebut akan lebih mendorong dalam penguatan
intelektual mahasiswa untuk lebih berfikir kritis.
Jikalau
petinggi kampus tersebut bagaikan orang tua dalam suatu rumah tangga, maka
mereka mempunyai tiga kewajiban, sesuai pendapat Prof. Dr. Salman Harun dalam Mutiara
Al-Qur’an (2004). Yakni menyediakan bekal yang cukup, materi yang diperoleh
tidak boros untuk menjaga ada kebutuhan suatu hari, dan masa depan anak harus
terjamin.
Hal
ini juga mendasari pemikiran saya tidak semua kegiatan yang dibuat dalam rangka
mengevaluasi kerja pada akhir tahun hanya untuk menghambur-hanburkan sisa
anggaran dan membuat sensasi saja. Terkait dengan pemberian bekal keilmuan,
memanfaatkan sisa anggaran untuk kepentingan yang positif dan semuanya yang
diperbuat untuk menjamin adalah tanggung jawab dari seseorang yang disebut
“orang tua” dalam suatu instansi pendidikan.
Mengenai
suatu proses tidak selalu dinilai dengan piala atau bentuk yang lain, hal ini
juga membuat pikiran saya melayang-layang pada suatu kisah yang tertuang
didalam buku Paradigma Kebudayaan Islam, Studi kritis dan Analisis Historis
karya Prof. Dr. Faisal Ismail.
Tahun
1968 Seorang mahasiswa yang lulus secara cumloude di universitas Toronto
kanada saat menerima ijazah langsung merobeknya,karena mahasiswa tersebut tak
layak mendapatkan ijazah karena ada salah satu proses pembelajaran yang belum
tercapai. Hal ini membuktikan bahwa proses serta hasil dari suatu proses
tersebut haruslah seimbang dan sama-sama butuh “pengakuan”. Karena suatu proses
juga merujuk pada akhir yang bagus, bukan merujuk pada suatu proses lagi.
Dalam
suatu kegiatan belajar mengajar atau dalam hal ini menunjukkan atas pemimpin
dan yang dipimpin haruslah menganut sistem “berjalan berdampingan” atau yang
disebut simbiosis mutualisme. Dikarenakan suatu proses terbebut tidak
akan diakhiri oleh pengajar atau pemimpin yang membimbing, serta pengajar atau
pemimpin tidaklah sukses jikalau tidak ada yang dibimbing.
Dalam
hal ini sah-sah saja jika mahasiswa menginginkan sistem pembelajaran yang
efektif dan terarah tanpa kebohongan, serta pihak institusi juga berhak melihat
hasil yang diperoleh tanpa mengesampingkan suatu proses yang dilakukan bersama.
Dalam
hal ini bukanlah suatu pembantahan yang sifatnya memaksa atau mengingkari,
karena semua pendapat benar sesuai sumber yang dianutnya, bagaikan seorang
istri yang mendampingi suami dalam mengarungi samudra kehidupan.