Selamat Datang Diblog Andi Riyanto * jadikan hidupmu bermanfaat bagi orang yang kamu sayangi * ingatlah kelemahanmu itu adalah kelebihanmu * masalah itu timbul dari pikiran kita *

Minggu, 09 Februari 2014

Persepsi Terbalik Untuk Saudara Serumah

Mimbar mahasiswa solopos Edisi 19 November 2013 mengulas tentang Surat Cinta Untuk Petinggi Kampus dari saudara serumah yakni Musta’in Romli. Hal ini sangat mengguncang tataran petinggi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, dengan kritikan pedas yang menguak berbagai macam problema yang muncul sebelum serta saat acara temu ilmiah dan bedah buku di Perpustakaan IAIN Surakarta.
Adapun kesimpulan dari sebuah opini tersebut yakni, penghabisan sisa anggaran 2013 dengan banyak agenda serta proyek-proyek dan mencari sensasi atas kritikan-kritikan pedas sebelumnya. Selain itu juga berkaitan dengan ketidak sepakatan bahwa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) harus memberi manfaat bagi kampus yang berupa piala atau mendali emas.
Kalau saya, bukan untuk membenarkan ataupun menyalahkan kritikan yang sifatnya membangun serta memberi “tamparan” secara psikologis bagi yang terkait. Karena saya mempunyai pendapat tersendiri menyikapi hal-hal yang menjadi persoalan oleh semua mahasiswa tersebut.
Ketika kita membahas masalah “anggaran”, kita akan dibenturkan dengan permasalahan keuangan yang menggelembung ataukan keuangan yang sama dengan jumlah pengeluaran yang ada. Selama ini, semua yang namanya “anggaran” tak lebih dari suatu rencana yang dibesarkan untuk mengantisipasi lonjakan harga yang berbeda dari suatu waktu. Dan pada akhir tahun anggaran tersebut ada sisa, akan kemanakah sisa tersebut?
Permasalahan ini mengingatkan saya akan seorang teman yakni Boris Hendra Saputra, Amd pada saat interview di Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendapatkan pertanyaan, “Jika pada keadaan tertentu terdapat kelangkaan barang dan kita mempunyai barang tersebut dalam jumlah sedikit. Kalau mengeluarkan barang itu akan masuk penjara, kalau mengeluarkan barang, pasti banyak kerusuhan. Apa pilihan yang akan diambil?”
Hal itu membuat susah untuk mengambil keputusan, disatu sisi kita dibenturkan dengan penjara, disisi lain disudutkan oleh kekacauan yang akan ditimbulkan. walaupun pilihan keputusan itu akan mengeluarkan barang walau penjara menanti, karena memikirkan kepentingan orang banyak walau barang tersebut sedikit julmahnya.
Sama halnya yang dilakukan salah satu petinggi IAIN tersebut, jikalau tidak akan menggunakan sisa anggaran tersebut akan hilang dikantong-kantong sistem dan menimbulkan penuntutan transparansi yang diawali demonstrasi mahasiswa, atau digunakan untuk kegiatan yang notabenya peningkatan keilmuan mahasiswa dalam hal ini mahasiswa yang menggeluti dunia membaca dan penelitian.
Disamping itu, David J. Schwartz melalui bukunya The Magic of Thinking Big mengulas tentang keberhasilan dan kemampuan seorang pemimpin, yakni membuat yang dipimpin mengerjakan hal-hal yang tidak akan mereka kerjakan seandainya mereka tidak dipimpin olehnya, serta berjalan berdampingan.
Dalam hal ini seorang petinggi kampus juga memperhatikan kegiatan-kegiatan yang mendukung keilmuan mahasiswa yang selama ini jarang diadakan, yang notabennya dibutuhkan oleh mahasiswa. Sehingga kegiatan yang notabennya dari evaluasi serta kebutuhan mahasiswa tersebut akan lebih mendorong dalam penguatan intelektual mahasiswa untuk lebih berfikir kritis.
Jikalau petinggi kampus tersebut bagaikan orang tua dalam suatu rumah tangga, maka mereka mempunyai tiga kewajiban, sesuai pendapat Prof. Dr. Salman Harun dalam Mutiara Al-Qur’an (2004). Yakni menyediakan bekal yang cukup, materi yang diperoleh tidak boros untuk menjaga ada kebutuhan suatu hari, dan masa depan anak harus terjamin.
Hal ini juga mendasari pemikiran saya tidak semua kegiatan yang dibuat dalam rangka mengevaluasi kerja pada akhir tahun hanya untuk menghambur-hanburkan sisa anggaran dan membuat sensasi saja. Terkait dengan pemberian bekal keilmuan, memanfaatkan sisa anggaran untuk kepentingan yang positif dan semuanya yang diperbuat untuk menjamin adalah tanggung jawab dari seseorang yang disebut “orang tua” dalam suatu instansi pendidikan.
Mengenai suatu proses tidak selalu dinilai dengan piala atau bentuk yang lain, hal ini juga membuat pikiran saya melayang-layang pada suatu kisah yang tertuang didalam buku Paradigma Kebudayaan Islam, Studi kritis dan Analisis Historis karya Prof. Dr. Faisal Ismail.
Tahun 1968 Seorang mahasiswa yang lulus secara cumloude di universitas Toronto kanada saat menerima ijazah langsung merobeknya,karena mahasiswa tersebut tak layak mendapatkan ijazah karena ada salah satu proses pembelajaran yang belum tercapai. Hal ini membuktikan bahwa proses serta hasil dari suatu proses tersebut haruslah seimbang dan sama-sama butuh “pengakuan”. Karena suatu proses juga merujuk pada akhir yang bagus, bukan merujuk pada suatu proses lagi.
Dalam suatu kegiatan belajar mengajar atau dalam hal ini menunjukkan atas pemimpin dan yang dipimpin haruslah menganut sistem “berjalan berdampingan” atau yang disebut simbiosis mutualisme. Dikarenakan suatu proses terbebut tidak akan diakhiri oleh pengajar atau pemimpin yang membimbing, serta pengajar atau pemimpin tidaklah sukses jikalau tidak ada yang dibimbing.
Dalam hal ini sah-sah saja jika mahasiswa menginginkan sistem pembelajaran yang efektif dan terarah tanpa kebohongan, serta pihak institusi juga berhak melihat hasil yang diperoleh tanpa mengesampingkan suatu proses yang dilakukan bersama.
Dalam hal ini bukanlah suatu pembantahan yang sifatnya memaksa atau mengingkari, karena semua pendapat benar sesuai sumber yang dianutnya, bagaikan seorang istri yang mendampingi suami dalam mengarungi samudra kehidupan.

Kataku

ketika kita tidak mencoba, maka kita tidak akan mengalami kesalahan, sehingga apa yang disebut keberhasilan juga kita tidak akan mengetahuinya. Sesuatu yang baru itu lebih membuat kita tertantang, sehingga kita dapat menabung dalam bank pikiran kita, sehingga kita dapat mengambilnya suatu nanti apabila kita membutuhkanya.
Andi Riyanto
Template by : kendhin x-template.blogspot.com