Selamat Datang Diblog Andi Riyanto * jadikan hidupmu bermanfaat bagi orang yang kamu sayangi * ingatlah kelemahanmu itu adalah kelebihanmu * masalah itu timbul dari pikiran kita *

Senin, 09 Januari 2012

Kaun Santri

Bab I
Penertian
A. Islam Abangan
Pakar antropologi Amerika yang ternama, Clifford Geertz, pada tahun 1960 berpendapat kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen Islam, atau mencampurkan ajaran islam dengan budaya-budaya Jawa terdahulu yang telah dipengaruhi animisme dan dinamisme. Sedangkan koentjaraningrat yang pola pemikiranya terpengaruh oleh Emile Durkheim, berpendapat bahwa agama merupakan unsure dari kebudayaan.
Abangan dalam perspektif peribadatan mempunyai pandangan agak lunak kepada adat istiadat atau kepercayaan lama. Dalam kalangan wali sanga juga dikenal dengan pandangan yang lunak dengan adat istiadat setempat, yakni Santri Abangan ini adalah Sunan Kalijaga yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati.
B. Islam Santri
Dalam masalah ibadah juga terjadi perbedaan dari golongan sunan yang lebih ditekankan pada pendapat Sunan Giri tidak kenal kompromi dengan adat istiadat dan kepercayaan lama. Ibadah menurut beliau harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Tidak boleh dicampur aduk dengan kepercayaan animisme. Pelaksanaan ibadah mesti sesuai dengan aturan yang tersebut dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul. Sikap dan keyakinan Sunan Giri ini didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan Drajad. Pengikut Sunan Giri kemudian disebut Islam atau Santri Putihan.
 
Bab II
Perumusan masalah
Dari penjelasan yang singkat pola pandang kaun santi serta kaum abangan, maka bisa ditarik suatu perumusan masalah mengenai pola beribadah antara kaum santri dengan kaum abangan. Sehingga makalah ini dibatasi antara perbedaan ibadah kaum santri dengan kaum abangan.

Bab III
Pembahasan
Dari penelitian yang dilakukanGeert, mengesimpulkan bahwa ada perbedaan mencolok dalam peribadahan kaum santri dengan kaum abangan. Kaum abangan tidak mempedulikan doktrin-doktrin agama dan lebih melarutkan diri dalam detail ritual, sedangkan kaum santri sebaliknya memengan doktrin dalam kehidupan dan memberikan sikap yang tak toleran secara praktik keupacaraan.
Menurut kaum santri, peribadatan adalah hal yang sederhana, yang paling penting adalah doktrin islam terutama penafsiran moran serta sosialnya. Islam dilihat sebagai serangkaian lingkaran social yang konsetris serta terikat dalam doktrin agama. Doktrin agama tersebut adalah pemahaman yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al- Hadist sebagai landasan yang fundamental, sehingga para ulama menyusun syariat dan hokum dioatas dua dasar itu. Hal ini terjadi karena Qur’an serta Hadist lebih banyak menyinggung garis besar saja, tidak sampai mendetail. Suatu difikasi perundangan yang rumit dalam berbagai bidang kehidupan social, tetapin dengan titik pusat dan penekanan pada urusan-urusan dalam, itu yang menjadi hokum yang kemudian dari interpretasi syariat berdasarkan Qur’an dan Hadist, muncullah krisis empat mahdab ortodoks yang semuanya dianggap benar dan sah.
Untuk proses mengenal Tuhan, kaum santri mengikat diri menjadi satu kaum menurut hokum, yang ditentukan oleh ketaatan kepada serangkaian hokum objektif yang didasarkan atas wahyu Alloh serta Hadist, yang telah dipertimbangkan kesesuaianya untuk dikomunikasikan kepada manusia. Dalam kontek santri tidak ada tidak ada manusia yang lebih tinggi derajatnya, manusia itu sama, tapi yang membedakanya adalah guru atau orang yang memiliki banyak ilmu.
Hal yang lebih beda lagi dilakukan oleh kaum abangan, ada dua pendapat mengenai kaum abangan, yang pertama adalah kaum abangan yang seperti dianut oleh sebangan wali sanya yang lebih dikenal sebangai santri abangan, yaitu lunak dengan adat istiadat atau kebudayaan setempat, yang memiliki pendapat:
• Kita harus bersikap lunak kepada rakyat Jawa yang masih awam. Tidak tergesa-gesa merubah adat istiadat rakyat yang memang sukar dirubah atau dihilangkan.
• Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam namun mudah dirubah maka bisa dihilangkan.
• Mengikuti dari belakang namun diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit, yaitu memasukkan unsur Islam pada adat istiadat rakyat, contoh dalam hal ini adalah memanfaatkan kesenian rakyat berupa gending, tembang dan wayang kulit sebagai media dakwah.
Dari pendapat tersebut akhirnya santri Abangan berpendapat bahwa rakyat yang masih awam dan berpegang teguh pada adat istiadat hendaknya diusahakan tertarik dan mendekat kepada para Wali. Caranya tidak lain adalah dengan mengambil hati mereka agar merasa simpati, senang dan akrab dengan ajaran para wali. Apabila mereka sudah mendekat dan mau berkumpul maka mudahlah bagi para Wali untuk memberikan pengertian kepada mereka. Bila mereka sudah mengerti ajaran Islam maka secara otomatis pasti mereka akan meninggalkan sendiri adat dan kepercayaan yang tidak sesuai dengan syariat dan aqidah Islam.
Sedangkan kaum abangan yang di maksud dalam penelitian geertz adalah kaum abangan yang sangat tidak mempedulikan doktrin-doktrin agama dan lebih menekankan serta melarutkan diri dalam detail ritual. Mencampurkan ajaran islam dengan budaya-budaya jawa terdahulu yang telah terpengaruh animism dan dinamisme serta pengaruh agama Hindu-Budha yang kental. Kaum abangan sebagai orang-orang yang profan dan sekuler. Risalah ini melukiskan orang Jawa (Muslim) yang mengadakan upacara slametan, karena mendapat kesusahan ketika sesuatu tidak berjalan seperti biasanya, Sebab, kaum abangan sering menganggap beberapa bagian dari budaya warisan leluhur mereka sebagai sesuatu yang sakral —tidak profan—, misalnya upacara-upacara adat yang membuat mereka dikatakan tidak taat beragama dan musrik.
Aspek social dalam kaum abangan ini lebih ditekankan pada diri sendiri atau rumah tangga sendiri, itulah unit social tempat ritual peribadatan dilakukan. Hal ini dimaksudkan, bukan dari dapur yang diolah bersama-sama – dalam artian kelompok – , tidak adalal selain public itu, kecuali membawa panganan dari dapuir sendiri. Dalam kaum abangan ini tidak ada perkauman yang organis, yang ada hanya serangkaian rumah – individu – yang terpisah yang dirangkai satu sama lain dan menjadi kelompok bersama tanpa sekat, dan harmoni serta bertahan sejak lama dengan satu tradisi tunggal.
 
Bab IV
Kesimpulan
Pokok-pokok pikiran yang menjadi perbedaan antara Santri Abangan – cara pandang sunan – dan Santri Putihan. Santri Abangan ingin mengIslamkan orang Jawa secepat mungkin dengan jalan agak kompromi atau mengikuti arus namun tidak hanyut. Sedang Santri Putihan takut atau khawatir bila terjadi penyelewengan terhadap agama Islam. Meski demikian kedua aliran ini tetap menjaga ukhuwah Islamiyah. Mereka tetap menjaga persatuan umat. Misalnya dalam soal mendirikan Masjid Demak.
Serta adanya pola peribadatan yang berbeda antara kaum abangan dan santri yang kedua, dalam penempatan Al-Qur’an dan Al-Hadist dalam pedoman, kaum santri lebih memegang Quran dan Hadist sebagai pegangan, tapi kaum abangan lebih tertarik pada ritual yang diwarisi oleh adat terdahulu sehingga menjadikan mereka sebagai kaum abangan sebagai orang-orang yang profan dan sekuler.

Daftar Pustaka:
• Ismail, Faisal, PARADIGMA KEBUDAYAAN ISLAM, Studi Kritis dan Analisis Historis,cet -4, Jakarta, PT. Mitra Cendikia, 2004.
• Ahmad Jaiz, Hartono, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, cet-2, Jakarta, PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2002.
• id.shvoong.com
• id.wikipedia.org
• sejarah.kompasiana.com
• ghufroniberbagi.blogspot.com

Makalah disusun guna memenuhi mata kuliah Islam dan Budaya Jawa
Dosen pengampu: Mohammad Fahmi, M.Si
Penyusun makalah: Andi Ritanto
Prodi Komunikasi Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah Dan Ushuluddin dan Dakwah
Institut Agama Islam Negeri Surakarta
2011

Kataku

ketika kita tidak mencoba, maka kita tidak akan mengalami kesalahan, sehingga apa yang disebut keberhasilan juga kita tidak akan mengetahuinya. Sesuatu yang baru itu lebih membuat kita tertantang, sehingga kita dapat menabung dalam bank pikiran kita, sehingga kita dapat mengambilnya suatu nanti apabila kita membutuhkanya.
Andi Riyanto
Template by : kendhin x-template.blogspot.com